Jumat, 29 Oktober 2010

di hari pemberangkatan haji

Dulu pernah kau bertanya padaku: "bisa gak kita naik haji?". Ku jawab saat itu: "Asal ada niat pasti kita akan ketemu jalan menuju ke sana". Dan beragam rencana sudah kau buat untuk mewujudkan hal itu, termasuk rencana untuk mengadakan arisan haji dengan teman-teman kantormu. Kini rencana itupun menguap dan bubar seiring dengan kepergianmu.
Hari ini, dua belas calon jemaah haji berangkat dari Selo, tepat habis shalat jum'atan, acara pemberangkatan dilakukan di masjid.
Ketika ku lihat orang-orang memakai seragam jemaah hati Indonesia, dengan warna biru langitnya, tak urung aku kembali menangis, bukan kesedihan, hanya teringat rencana-rencana kita yang belum kesampaian, hanya teringat segala keindahan yang pernah kita rasakan bersama, hanya teringat akan segala yang ada di dirimu.
Ul, hari ini ku putuskan untuk menegaskan kembali keinginan-keinginan yang belum kesampaian, dengan berlandaskan pada keyakinan bahwa apapun yang pernah terlintas dalam pikiran kita--selama itu kebaikan--insya Allah, Allah pasti akan menyertakan dalam diri kita kemampuan untuk mewujudkannya.
Dan yang jelas Ul, aku rindu padamu. sungguh aku rindu padamu.
Semoga kebaikan selalu menyertaimu, wahai belahan yang ditempatkan di sisi kosong jiwaku.
Blogged with the Flock Browser

Minggu, 24 Oktober 2010

Iri telah meracuniku

Hari ini benar-benar aku merasa teracuni oleh rasa iri. Iri akan anugerah dan nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang sekelilingku. Bagaimana mungkin aku merasa sakit ketika melihat teman-teman dekatku berada dalam kebahagiaan. Bagaimana mungkin aku merasa aku lebih berhak atas nikmat itu dari mereka. Padahal aku dulu ikut membantu mereka. Ikut bekerja keras agar mereka dapat berhasil melalui langkah-langkah untuk mendapatkan anugerah ini. Iri benar-benar telah meracuni hatiku hingga aku sempat berpikir dan mempertanyakan kebaikan seluruh titah yang telah ditetapkan.
Dulu aku sering berkata: "Rejeki orang ndak perlu kita hitung karena Allah telah menetapkan rejeki sesuai dengan kadar kebutuhan tiap orang". Lalu mengapa aku sekarang merasa iri. Benar-benar ini.
Benar memang, saat-saat ini aku berada dalam kesulitan yang cukup kompleks. Aku mesti menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri dan pada saat yang sama kebutuhan hidup mesti aku penuhi. Tapi, apakah itu boleh digunakan sebagai alasan agar aku iri?
Tak pikir tidak ada alasan apapun yang membolehkan seseorang iri kepada orang lain atas nikmat yang diterimanya, apalagi teman-teman akrabnya.
Tidakkah aku meyakini bahwa nikmat dan rejeki dianugerahkan Allah sesuai dengan kebutuhan tiap insan manusia? Tidakkah aku meyakini bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya? Tidakkah aku meyakini bahwa apapun yang terjadi pasti telah digariskan dan merupakan hal terbaik yang mesti terjadi? Tidakkah pula aku yakin bahwa tidak ada suatu cobaan apapun yang menimpa seorang hamba kecuali Allah telah menanamkan dalam dirinya suatu potensi dan kekuatan untuk menyelesaikannya?
Lalu, kenapa tetap saja iri berhasil meracuni hatiku sehingga merusak pandanganku terhadap teman-teman baikku?
Tak mungkin aku berlari dan menghindar dengan mengatakan ini pekerjaan setan. Tidak ini bukan pekerjaan setan. Mungkin ini lebih pada ketak mampuanku untuk bersabar, untuk melihat sesuatu dari kacamata kebaikan. Mungkin ini lebih karena kenaifanku sebagai manusia. Tak mampu mengendalikan ego yang selalu merasa tinggi, ego yang penginnya menang sendiri, ego yang tak pernah mau mengakui kesalahan diri.
Kini, hanya kepada Engkau ya Rabb aku mampu mengadu. hanya kepada Engkau aku tengadahkan tangan mengharap rahmat kasih-Mu. Mohon kalahkah iri hatiku, mohon tundukkan ego diriku, mohon lapangkan dadaku.
Dan aku pun tahu rahmat-Mu jauh melebihi murka-Mu
Blogged with the Flock Browser

Iri telah meracuniku

Hari ini benar-benar aku merasa teracuni oleh rasa iri. Iri akan anugerah dan nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang sekelilingku. Bagaimana mungkin aku merasa sakit ketika melihat teman-teman dekatku berada dalam kebahagiaan. Bagaimana mungkin aku merasa aku lebih berhak atas nikmat itu dari mereka. Padahal aku dulu ikut membantu mereka. Ikut bekerja keras agar mereka dapat berhasil melalui langkah-langkah untuk mendapatkan anugerah ini. Iri benar-benar telah meracuni hatiku hingga aku sempat berpikir dan mempertanyakan kebaikan seluruh titah yang telah ditetapkan.
Dulu aku sering berkata: "Rejeki orang ndak perlu kita hitung karena Allah telah menetapkan rejeki sesuai dengan kadar kebutuhan tiap orang". Lalu mengapa aku sekarang merasa iri. Benar-benar ini.
Benar memang, saat-saat ini aku berada dalam kesulitan yang cukup kompleks. Aku mesti menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri dan pada saat yang sama kebutuhan hidup mesti aku penuhi. Tapi, apakah itu boleh digunakan sebagai alasan agar aku iri?
Tak pikir tidak ada alasan apapun yang membolehkan seseorang iri kepada orang lain atas nikmat yang diterimanya, apalagi teman-teman akrabnya.
Tidakkah aku meyakini bahwa nikmat dan rejeki dianugerahkan Allah sesuai dengan kebutuhan tiap insan manusia? Tidakkah aku meyakini bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya? Tidakkah aku meyakini bahwa apapun yang terjadi pasti telah digariskan dan merupakan hal terbaik yang mesti terjadi? Tidakkah pula aku yakin bahwa tidak ada suatu cobaan apapun yang menimpa seorang hamba kecuali Allah telah menanamkan dalam dirinya suatu potensi dan kekuatan untuk menyelesaikannya?
Lalu, kenapa tetap saja iri berhasil meracuni hatiku sehingga merusak pandanganku terhadap teman-teman baikku?
Tak mungkin aku berlari dan menghindar dengan mengatakan ini pekerjaan setan. Tidak ini bukan pekerjaan setan. Mungkin ini lebih pada ketak mampuanku untuk bersabar, untuk melihat sesuatu dari kacamata kebaikan. Mungkin ini lebih karena kenaifanku sebagai manusia. Tak mampu mengendalikan ego yang selalu merasa tinggi, ego yang penginnya menang sendiri, ego yang tak pernah mau mengakui kesalahan diri.
Kini, hanya kepada Engkau ya Rabb aku mampu mengadu. hanya kepada Engkau aku tengadahkan tangan mengharap rahmat kasih-Mu. Mohon kalahkah iri hatiku, mohon tundukkan ego diriku, mohon lapangkan dadaku.
Dan aku pun tahu rahmat-Mu jauh melebihi murka-Mu
Blogged with the Flock Browser

Iri telah meracuniku

Hari ini benar-benar aku merasa teracuni oleh rasa iri. Iri akan anugerah dan nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang sekelilingku. Bagaimana mungkin aku merasa sakit ketika melihat teman-teman dekatku berada dalam kebahagiaan. Bagaimana mungkin aku merasa aku lebih berhak atas nikmat itu dari mereka. Padahal aku dulu ikut membantu mereka. Ikut bekerja keras agar mereka dapat berhasil melalui langkah-langkah untuk mendapatkan anugerah ini. Iri benar-benar telah meracuni hatiku hingga aku sempat berpikir dan mempertanyakan kebaikan seluruh titah yang telah ditetapkan.
Dulu aku sering berkata: "Rejeki orang ndak perlu kita hitung karena Allah telah menetapkan rejeki sesuai dengan kadar kebutuhan tiap orang". Lalu mengapa aku sekarang merasa iri. Benar-benar ini.
Benar memang, saat-saat ini aku berada dalam kesulitan yang cukup kompleks. Aku mesti menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri dan pada saat yang sama kebutuhan hidup mesti aku penuhi. Tapi, apakah itu boleh digunakan sebagai alasan agar aku iri?
Tak pikir tidak ada alasan apapun yang membolehkan seseorang iri kepada orang lain atas nikmat yang diterimanya, apalagi teman-teman akrabnya.
Tidakkah aku meyakini bahwa nikmat dan rejeki dianugerahkan Allah sesuai dengan kebutuhan tiap insan manusia? Tidakkah aku meyakini bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya? Tidakkah aku meyakini bahwa apapun yang terjadi pasti telah digariskan dan merupakan hal terbaik yang mesti terjadi? Tidakkah pula aku yakin bahwa tidak ada suatu cobaan apapun yang menimpa seorang hamba kecuali Allah telah menanamkan dalam dirinya suatu potensi dan kekuatan untuk menyelesaikannya?
Lalu, kenapa tetap saja iri berhasil meracuni hatiku sehingga merusak pandanganku terhadap teman-teman baikku?
Tak mungkin aku berlari dan menghindar dengan mengatakan ini pekerjaan setan. Tidak ini bukan pekerjaan setan. Mungkin ini lebih pada ketak mampuanku untuk bersabar, untuk melihat sesuatu dari kacamata kebaikan. Mungkin ini lebih karena kenaifanku sebagai manusia. Tak mampu mengendalikan ego yang selalu merasa tinggi, ego yang penginnya menang sendiri, ego yang tak pernah mau mengakui kesalahan diri.
Kini, hanya kepada Engkau ya Rabb aku mampu mengadu. hanya kepada Engkau aku tengadahkan tangan mengharap rahmat kasih-Mu. Mohon kalahkah iri hatiku, mohon tundukkan ego diriku, mohon lapangkan dadaku.
Dan aku pun tahu rahmat-Mu jauh melebihi murka-Mu
Blogged with the Flock Browser

Jumat, 08 Oktober 2010

sekedar coretanku

Ul, masih ingat satu ayat yang sering ku katakan padamu ketika kita bicara tentang impian dan angan. Ketika kita bicara tentang kemungkinan kita untuk mewujudkan semua impian kita. Satu ayat di awal juz tiga. satu ayat yang berada di urutan 200-an dari surat Al-Baqarah, la yukallifu Allah nafsan illa wus'aha, Allah tidak akan menimpakan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kapasitasnya.
     Ul, dulu  aku sering bilang bahwa ayat ini menunjukkan bahwa apapun yang terselip dalam pikiran kita, apapun yang muncul dalam hati kita, apapun angan kita, apapun impian kita, karena telah terselip dan masuk dalam diri kita, insya Allah, Allah akan memberi jalan kepada kita untuk mewujudkannya, asal kita mau berusaha dan terus berusaha.
      Ul, saat ini aku mencoba untuk tetap memegang keyakinan ini. Tak pernah terpikir padaku bahwa ayat ini menjadi jalan ujianku. Tak pernah terpikir padaku bahwa ayat ini berlaku bagiku untuk hal-hal yang tidak menyenangkanku. Tak pernah terpikir padaku bahwa keyakinanku akan ayat ini harus dibayar dengan musibah yang berakhir dengan tiadamu.
       Ul, kadang aku ragu memang. kadang seakan tanpa daya aku. Beberapa hal yang ku coba untuk membangkitkan diriku belum juga menghasilkan sesuatu. Sebenarnya, aku pun sering hampir putus asa. Untung ada Lana yang menjagaku untuk tidak memikirkan hal-hal yang buruk pada pikiranku. 
       Kau tahu Ul, Lana, putra kita, ia lah yang selama ini membuatku untuk tidak putus asa. Ia lah yang selalu ini membuatkan tetap mampu bertahan dalam pikiiran sehatku. Ia lah yang menjagaku dari segala bahaya, terutama bahaya yang berasal dari pikiran dan keputus asaanku.
       Kau tahu Ul, putra kita luar biasa. Sungguh Ul, ia lah keluar biasaan yang membuatku tetap bertahan, Subhanallah. Maha Suci Allah, Dzat yang mencipta segala dengan seluruh nilai-nilai kebajikan yang ada di dalamnya

Kamis, 07 Oktober 2010

Selalu untukmu

Ul, tak mungkin ku melangkah kecuali kau menjadi salah satu alasan bagi langkah-langkahku.