Minggu, 24 Oktober 2010

Iri telah meracuniku

Hari ini benar-benar aku merasa teracuni oleh rasa iri. Iri akan anugerah dan nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang sekelilingku. Bagaimana mungkin aku merasa sakit ketika melihat teman-teman dekatku berada dalam kebahagiaan. Bagaimana mungkin aku merasa aku lebih berhak atas nikmat itu dari mereka. Padahal aku dulu ikut membantu mereka. Ikut bekerja keras agar mereka dapat berhasil melalui langkah-langkah untuk mendapatkan anugerah ini. Iri benar-benar telah meracuni hatiku hingga aku sempat berpikir dan mempertanyakan kebaikan seluruh titah yang telah ditetapkan.
Dulu aku sering berkata: "Rejeki orang ndak perlu kita hitung karena Allah telah menetapkan rejeki sesuai dengan kadar kebutuhan tiap orang". Lalu mengapa aku sekarang merasa iri. Benar-benar ini.
Benar memang, saat-saat ini aku berada dalam kesulitan yang cukup kompleks. Aku mesti menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri dan pada saat yang sama kebutuhan hidup mesti aku penuhi. Tapi, apakah itu boleh digunakan sebagai alasan agar aku iri?
Tak pikir tidak ada alasan apapun yang membolehkan seseorang iri kepada orang lain atas nikmat yang diterimanya, apalagi teman-teman akrabnya.
Tidakkah aku meyakini bahwa nikmat dan rejeki dianugerahkan Allah sesuai dengan kebutuhan tiap insan manusia? Tidakkah aku meyakini bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya? Tidakkah aku meyakini bahwa apapun yang terjadi pasti telah digariskan dan merupakan hal terbaik yang mesti terjadi? Tidakkah pula aku yakin bahwa tidak ada suatu cobaan apapun yang menimpa seorang hamba kecuali Allah telah menanamkan dalam dirinya suatu potensi dan kekuatan untuk menyelesaikannya?
Lalu, kenapa tetap saja iri berhasil meracuni hatiku sehingga merusak pandanganku terhadap teman-teman baikku?
Tak mungkin aku berlari dan menghindar dengan mengatakan ini pekerjaan setan. Tidak ini bukan pekerjaan setan. Mungkin ini lebih pada ketak mampuanku untuk bersabar, untuk melihat sesuatu dari kacamata kebaikan. Mungkin ini lebih karena kenaifanku sebagai manusia. Tak mampu mengendalikan ego yang selalu merasa tinggi, ego yang penginnya menang sendiri, ego yang tak pernah mau mengakui kesalahan diri.
Kini, hanya kepada Engkau ya Rabb aku mampu mengadu. hanya kepada Engkau aku tengadahkan tangan mengharap rahmat kasih-Mu. Mohon kalahkah iri hatiku, mohon tundukkan ego diriku, mohon lapangkan dadaku.
Dan aku pun tahu rahmat-Mu jauh melebihi murka-Mu
Blogged with the Flock Browser

Iri telah meracuniku

Hari ini benar-benar aku merasa teracuni oleh rasa iri. Iri akan anugerah dan nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang sekelilingku. Bagaimana mungkin aku merasa sakit ketika melihat teman-teman dekatku berada dalam kebahagiaan. Bagaimana mungkin aku merasa aku lebih berhak atas nikmat itu dari mereka. Padahal aku dulu ikut membantu mereka. Ikut bekerja keras agar mereka dapat berhasil melalui langkah-langkah untuk mendapatkan anugerah ini. Iri benar-benar telah meracuni hatiku hingga aku sempat berpikir dan mempertanyakan kebaikan seluruh titah yang telah ditetapkan.
Dulu aku sering berkata: "Rejeki orang ndak perlu kita hitung karena Allah telah menetapkan rejeki sesuai dengan kadar kebutuhan tiap orang". Lalu mengapa aku sekarang merasa iri. Benar-benar ini.
Benar memang, saat-saat ini aku berada dalam kesulitan yang cukup kompleks. Aku mesti menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri dan pada saat yang sama kebutuhan hidup mesti aku penuhi. Tapi, apakah itu boleh digunakan sebagai alasan agar aku iri?
Tak pikir tidak ada alasan apapun yang membolehkan seseorang iri kepada orang lain atas nikmat yang diterimanya, apalagi teman-teman akrabnya.
Tidakkah aku meyakini bahwa nikmat dan rejeki dianugerahkan Allah sesuai dengan kebutuhan tiap insan manusia? Tidakkah aku meyakini bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya? Tidakkah aku meyakini bahwa apapun yang terjadi pasti telah digariskan dan merupakan hal terbaik yang mesti terjadi? Tidakkah pula aku yakin bahwa tidak ada suatu cobaan apapun yang menimpa seorang hamba kecuali Allah telah menanamkan dalam dirinya suatu potensi dan kekuatan untuk menyelesaikannya?
Lalu, kenapa tetap saja iri berhasil meracuni hatiku sehingga merusak pandanganku terhadap teman-teman baikku?
Tak mungkin aku berlari dan menghindar dengan mengatakan ini pekerjaan setan. Tidak ini bukan pekerjaan setan. Mungkin ini lebih pada ketak mampuanku untuk bersabar, untuk melihat sesuatu dari kacamata kebaikan. Mungkin ini lebih karena kenaifanku sebagai manusia. Tak mampu mengendalikan ego yang selalu merasa tinggi, ego yang penginnya menang sendiri, ego yang tak pernah mau mengakui kesalahan diri.
Kini, hanya kepada Engkau ya Rabb aku mampu mengadu. hanya kepada Engkau aku tengadahkan tangan mengharap rahmat kasih-Mu. Mohon kalahkah iri hatiku, mohon tundukkan ego diriku, mohon lapangkan dadaku.
Dan aku pun tahu rahmat-Mu jauh melebihi murka-Mu
Blogged with the Flock Browser

Iri telah meracuniku

Hari ini benar-benar aku merasa teracuni oleh rasa iri. Iri akan anugerah dan nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang sekelilingku. Bagaimana mungkin aku merasa sakit ketika melihat teman-teman dekatku berada dalam kebahagiaan. Bagaimana mungkin aku merasa aku lebih berhak atas nikmat itu dari mereka. Padahal aku dulu ikut membantu mereka. Ikut bekerja keras agar mereka dapat berhasil melalui langkah-langkah untuk mendapatkan anugerah ini. Iri benar-benar telah meracuni hatiku hingga aku sempat berpikir dan mempertanyakan kebaikan seluruh titah yang telah ditetapkan.
Dulu aku sering berkata: "Rejeki orang ndak perlu kita hitung karena Allah telah menetapkan rejeki sesuai dengan kadar kebutuhan tiap orang". Lalu mengapa aku sekarang merasa iri. Benar-benar ini.
Benar memang, saat-saat ini aku berada dalam kesulitan yang cukup kompleks. Aku mesti menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri dan pada saat yang sama kebutuhan hidup mesti aku penuhi. Tapi, apakah itu boleh digunakan sebagai alasan agar aku iri?
Tak pikir tidak ada alasan apapun yang membolehkan seseorang iri kepada orang lain atas nikmat yang diterimanya, apalagi teman-teman akrabnya.
Tidakkah aku meyakini bahwa nikmat dan rejeki dianugerahkan Allah sesuai dengan kebutuhan tiap insan manusia? Tidakkah aku meyakini bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya? Tidakkah aku meyakini bahwa apapun yang terjadi pasti telah digariskan dan merupakan hal terbaik yang mesti terjadi? Tidakkah pula aku yakin bahwa tidak ada suatu cobaan apapun yang menimpa seorang hamba kecuali Allah telah menanamkan dalam dirinya suatu potensi dan kekuatan untuk menyelesaikannya?
Lalu, kenapa tetap saja iri berhasil meracuni hatiku sehingga merusak pandanganku terhadap teman-teman baikku?
Tak mungkin aku berlari dan menghindar dengan mengatakan ini pekerjaan setan. Tidak ini bukan pekerjaan setan. Mungkin ini lebih pada ketak mampuanku untuk bersabar, untuk melihat sesuatu dari kacamata kebaikan. Mungkin ini lebih karena kenaifanku sebagai manusia. Tak mampu mengendalikan ego yang selalu merasa tinggi, ego yang penginnya menang sendiri, ego yang tak pernah mau mengakui kesalahan diri.
Kini, hanya kepada Engkau ya Rabb aku mampu mengadu. hanya kepada Engkau aku tengadahkan tangan mengharap rahmat kasih-Mu. Mohon kalahkah iri hatiku, mohon tundukkan ego diriku, mohon lapangkan dadaku.
Dan aku pun tahu rahmat-Mu jauh melebihi murka-Mu
Blogged with the Flock Browser