Sabtu, 23 Februari 2013

aku merindumu teman

Ul, semakin yakin aku bahwa setelah Tuhan engkau adalah segalanya bagiku. Semua kebutuhan jiwaku ada dalam dirimu, bahkan mungkin jiwaku sendiri berada dalam jiwamu. Engkau isteriku, perempuan yang selalu menemani dan memenuhi seluruh kebutuhanku, raga dan jiwaku. Engkau kekasihku, perempuan yang seluruh cinta dan rinduku tertuju. Engkau pasanganku, seseorang yang dengannya tertutup seluruh kekuranganku sehingga sempurna diri kita. Engkau teman dan sahabatku, seseorang yang kepadaku aku selalu mengadu, menceritakan segala suka gembiraku, seluruh luka dan dukaku. Engkau sainganku, seseorang yang membuatku selalu terpacu untuk berkembang sehingga layak untuk saling beradu ilmu dan berbagi pengetahuan.
Ul, hari ini aku benar-benar berada dalam kegilaanku. Aku tak tahu apakah ini puncak dari seluruh kegilaanku atau baru tanjakan kecil menuju puncak kegilaanku. Tak ada kendali, tak ada pesaing, tak ada teman, tak ada pasangan, tak ada kekasih, tak ada isteri. Sendiri dalam gilaku, sendiri dalam gamangku, sendiri dalam kekacauanku.
Ul, aku benar-benar lagi merindumu temanku. Terlalu banyak hal yang seakan tak kuasa lagi ku tahankan, dan aku membutuhkan hadirmu temanku, sahabatku, karena aku hanya bisa menceritakan semuanya kepada temanku, kepada sahabatku. Tidak bisa dan tidak pernah terpikir olehku aku bisa menceritakan segala sesuatu kecuali kepada temanku, kecuali kepada sahabat yang telah mampu menggenggam hati dan jiwaku.
Ul, aku merindumu, benar-benar merindumu. Sungguh hari ini aku benar-benar membutuhkan temanku. Aku sepi, benar-benar sepi, tanpa teman, tanpa sahabat. Aku menunggumu sahabatku, aku menungguku untuk kembali bercerita padamu, kembali mengisahkan seluruh peristiwa dan kisah yang membakarku, kepiluan yang meluluhkanku, kesedihan yang menghayutkanku. 
Aku merindumu temanku, aku merindumu di ujung waktu, di tapal batas ruang dan waktu, di tempat yang memungkinkan kita untuk bertemu, dalam semesta jiwa, dalam wujud cahaya.
Ul, mungkin kesalahan terbesarku adalah meyakini bahwa engkau menitis dalam diri adikmu, sehingga mulai ku yakinkan diriku bahwa engkau--temanku, kekasihku, isteriku--ada dalam dirinya. Dan perlahan-lahan memang ku rasakan kenyamanan seorang teman dalam dirinya dan aku mulai bergantung padanya--sebagaimana aku meyakini bahwa engkau segalaku--. Lalu, terjadilah apa yang mesti terjadi, satu kesalah aku lakukan, sebuah kesalahan yang tak pernah ku sengaja, hanya satu kata di tempat yang tidak tepat, namun menjadi pemutus segala yang coba aku jaga.
Ul, aku sadar aku bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya orang luar yang kebetulan menjadi suami darimu, dari kakak yang sangat dicintainya. Aku mencoba untuk meminta maaf--meski aku juga tidak pernah mengerti apakah ia sudah memaafkanku atau belum, apakah caraku meminta maaf diterima atau malah semakin membuatku kecewa?. Aku tak bisa memaksanya untuk kembali membuka diri padaku, kembali bisa saling bertukar cerita denganku. Aku tak bisa. Aku tak punya hak untuk itu. Aku tahu itu.
Ul, aku hanya mencoba untuk tetap berhubungan baik dengannya. Apa yang ada di hatiku biarlah tersimpan di hatiku sebagaimana mestinya.
Dan hari ini aku benar-benar membutuhkan temanku Ul, aku membutuhkanmu, aku merindukanmu. Terlalu gila aku hingga aku sendiri takut dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Aku merindumu sahabat jiwaku, aku ingin kembali bercerita padamu, merasakan belai tanganmu yang sanggup melelehkan segala ganjalan beban di dadaku. 
Aku merindumu sahabatku, temanku, kekasihku, isteriku...
Ul, meski kehadiranmu sebagai isteri bagi kelelakianku aku rindukan, namun semua masih bisa aku tahankan. Ada banyak hal yang bisa aku lakukan untuk meredam kerinduanku pada keperempuanan isteriku. Namun, kehilangan teman, ketiadaan teman rasanya benar-benar tak sanggup aku tangguhkan. Kehilangan teman, ketiadaan sahabat mungkin malah bisa menghancurkan dan membunuhku. Kesepian tanpa teman benar-benar kesepian tak terperi, tak tertahankan.
Ul, mungkin jika aku tak juga meyakini bahwa apapun yang terjadi adalah keputusan terbaik Tuhan, mungkin sudah ku buang seluruh harapan, tak perlu lagi pertahankan nafas yang disisakan. Hanya keyakinan itu yang membuatku tetap bertahan, tetap menyisakan setitik harapan, meski kadang seakan hampir padam.
Ul, jelas tak mungkin bagiku mempertanyakan apa yang telah ditetapkan Tuhan, apalagi memprotes dengan berkata 'Mengapa aku harus mengalami ini Tuhan?'. Kadang dalam ketak berdayaan hanya satu satu do'a yang mampu ku lafadzkan; 'Tuhan, mohon ikhlaskan hatiku untuk menerima seluruh tetap-Mu'.
Ul, aku merindumu temanku, aku merindumu, sangat merindumu sahabat jiwaku.
Aku sangat ingin bertemu denganmu, sangat menceritakan segalanya kepadamu, kembali berbagi kisah denganmu, mendebatmu, beradu alasan dan tujuan.
Ul, aku merindumu sahabatku, benar-benar merindumu....
Semoga Ia mendengar jiwa kita dan memperkenankan kita bersua di alam yang tak lagi membutuhkan raga. Tunjukkan padaku di mana kita bisa bertemu, dan aku akan ke sana untuk menemuimu, menemui rinduku, menemui jiwaku, menemui kekasihku, menemui sahabatku, menemui temanku.

Aku merindumu Ul, benar-benar merindumu....semoga malam ini aku bisa melintas batas ruang waktu...semoga malam ini engkau memiliki waktu...semoga malam ini kita diperkenankan memadu rindu...