Minggu, 07 Juli 2013

Ketika Tak Lagi Mampu Ku Tahankan di Dada

Ul, entah kenapa aku merasa bahwa hari-hari ini aku begitu merindumu, entah mengapa hari-hari ini semakin aku tertekan dengan setiap masalah yang datang rinduku padamu semakin tak tertahankan. Aku benar-benar merasa sendiri saat ini, tak ada tempat untuk sekedar bercerita apalagi mengeluh. Benar bahwa sebaik tempat untuk mengeluh adalah kepada Allah, namun sayang berkali-kali aku mencobanya aku belum juga mampu.
Ul, hingga saat ini aku tetap saja merasa bahwa hanya denganmu aku bisa menumpahkan segala yang ada di diriku, menceritakan segala persoalan yang aku alami, mengurai segala beban yang menghampiriku. Dan dengan itu, aku yakin bahwa sebenarnya aku mengeluh pada Allah, jalanku untuk mengeluh adalah melalui dirimu, karena aku yakin bahwa Allah telah menetapkan engkau sebagai belahan jiwaku.
Ul, baru kali ini aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi segala rindu padamu, tekanannya begitu keras dan aku belum juga menemukan cara untuk mengalirkannya. Aku rindu padamu Ul, semakin malam semakin sunyi semakin keras denyut rinduku, semakin menekan dada dan hatiku, semakin mendesah nafasku mengucap namamu.
Ul, dulu—sebelum aku menceritakan hal-hal yang tak pernah terungakapkan kepada orang lain dan menceritakan pengandaianku kepada Jun—aku biasa bercerita apa saja dengan Jun, menceritakan peristiwa dan kejadian yang sedang aku alami, berbicara tentang berbagai keinginan kita yang belum terwujud, dan ia pun sering bercerita tentang keinginan dan harapan yang dibangunnya, bercerita berbagai hal menarik yang terjadi, berbagai pengalaman dan rencana-rencana. Itu dulu, sebelum segalanya menjadi sedikit kaku, sebelum bias meragukan setiap tindakanku.
Ul, perlahan namun pasti—meskipun itu tidak juga aku sadari hingga ketika Jun mulai mengubah pola komunikasi kami—aku merasakan kenyamanan dan kebebasan yang dulu ku rasakan. Kenyamanan dan kebebasan untuk saling bertukar cerita, saling percaya, saling menguatkan (awalnya aku menganggap ini bagian dari perasaan kami yang menjadi merasakan rasa kehilangan yang sama—kehilangan dirimu--), namun tanpa aku sadari ternyata tumbuh harapanku agar jiwaku kembali menyatu dengan jiwanya. Dan perlahan-lahan aku pun merasakan bahwa banyak hal dari dirimu yang kurasakan dan ku temukan dalam dirinya. Aku mulai meyakini bahwa dalam diri Jun engkau kembali hadir dan mewujud untuk kembali padaku.
Ul, sungguh aku sangat ingin menghilangkannya, tapi bagaimana aku dapat menghilangkannya ketika aku juga tidak pernah memunculkannya, semua berjalan begitu saja, sebagaimana cinta kita juga tumbuh begitu saja.
Ul, aku sadar bahwa saat ini aku benar-benar bias dalam hubunganku dengan Jun. Aku tahu aku menyayanginya sebagai adik iparku, namun tak dapat juga ku pungkiri bahwa aku juga merasakan kehadiranmu dalam dirinya, aku juga merasakan kedamaian saat berbincang biasa dengannya. Dan segalanya menjadi begitu menekan dada saat tak lagi mampu menjalin komunikasi dengannya. Rinduku padamu menjadi begitu menggila.
Ul, aku yakin bahwa dalam hubungan antara dua orang terjadi sebuah hubungan timbal balik. Artinya, ketika landasan komunikasi seseorang berubah maka secara otomatis berubah pula landasan orang kedua. Ketika aku merasakan bias dalam hubunganku dengan Jun, jelas ia pun akan merasakan efek dari ke-bias-anku, ia pun akan menggunakan pola hubungan baru yang—bagi kami mungkin—serasa kaku, tak sebiasa dulu.
Sungguh Ul, saat ini aku menjadi ketakutan sendiri. Takut bahwa apa yang aku lakukan akan membuat Jun semakin menjauhiku, semakin tak mau menjalin komunikasi denganku. Aku khawatir hubungan baik dan akrab yang dulu kami miliki menjadi semakin renggang dan kaku. Aku tidak mau hubungan persaudaraan di antara kami rusak dan berantakan. Dan semakin takut aku semakin biasnya pola hubungan kami.
Ul, sungguh kadang aku berpikir untuk mengatakan padanya bahwa aku merasakan hadirmu dalam dirinya (karena Jun tidak akan percaya kalau aku katakan aku mencintainya—atau bahkan sekedar suka antara laki-laki dan perempuan—karena aku sudah pernah bercerita padanya bahwa aku sangat mencintaimu dan jika aku mesti menikah lag maka aku akan menikah dengan perempuan yang dalam dirinya aku rasakan kehadiranmu. Meski kadang aku juga bertanya sendiri benarkah engkau benar-benar mewujud menyatu jiwa dengan Jun sehingga aku merasakan hadirmu dalam dirinya atau aku mulai menyukainya kemudian aku mengganggapnya sebagai kehadiran dirimu dalam dirinya? Ah entahlah…) dan kemudian mengajaknya untuk menikah denganku.
Ul, dalam prediksiku setidaknya mungkin akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut:
Pertama, Jun mau menikah denganku tentunya dengan syarat-syarat yang mungkin akan diberikannya padaku (dulu ketika bercerita tentang kemungkinan itu, ia juga berkata ya bisa saja aku akan mengatakan ya namun tentunya tidak dengan begitu saja, aku akan memberikan syarat-syarat yang mungkin akan membuat sampeyan mundur teratur).
Kedua, Jun akan menolaknya entah karena aku tidak mau memenuhi syarat yang diajukannya atau karena hal lainnya namun kemudian hubungan kami menjadi seperti semula, sebuah hubungan akrab antara kakak dan adiknya.
Ketiga, Jun akan menolaknya dengan cara tidak memberikan jawaban dan memutuskan semua hal yang terkait denganku, tidak lagi mau berhubungan denganku, tidak lagi mau berbicara denganku, tidak lagi mau berbagi cerita denganku.
Ul, sungguh aku bisa terima dan tidak akan apa-apa jika yang terjadi adalah opsi pertama dan kedua, meskipun mungkin opsi pertama juga tidak akan berjalan semulus paha cherrybell (aku merasa jika memang aku akan menikah dengan Jun mungkin akan ada beberapa hal yang mesti diselesaikan sebelum dilaksanakan, beberapa hal yang aku yakin engkau pasti mengetahui dan sangat memahaminya, beberapa hal yang mungkin juga berakhir tidak sebagaimana mestinya). Aku jelas bisa menerima opsi pertama karena sejak aku meyakini bahwa engkau kini ada dalam dirinya tentu aku ingin menikah dengannya.
Untuk opsi kedua, ini merupakan opsi yang aku harapkan, Jun menolakku dan kami kembali menjadi kakak beradik yang saling mendukung, menjaga, dan akrab. Jadi opsi pertama kini menjadi salah satu keinginanku dan opsi kedua merupakan harapanku… (mungkin karena aku sangat tidak ingin hubungan baik yang selama ini terjadi di antara orang-orang tua menjadi sedikit meregang akibat opsi pertama).
Ul, untuk opsi ketiga terus terang hingga kini aku bahkan tidak sanggup untuk membayangkannya. Bagaimana mungkin aku menjadi orang yang dibenci dan dijauhi oleh orang yang sangat dekat denganmu. Bagaimana mungkin aku sanggup menjadi orang yang dihindari oleh adik yang sangat engkau sayangi. Bagaimana mungkin aku bisa menanggung sakit yang pastinya engkau rasakan ketika ternyata aku sendiri yang menyebabkan adik yang paling engkau banggakan sakit hati akibat tindakanku.
Benar-benar tidak mampu aku membayangkan hal itu Ul, apalagi memikirkannya.
Ul, hingga saat ini—menurutku--itulah alasan paling mendasar mengapa aku tak juga melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan biaskua. Karena dalam pandanganku salah satu cara paling paling untu menyelesaikan biasku adalah dengan menggembalikan posisi dan pola hubungan kami menjadi pola hubungan yang dulu—pola hubungan kakak adik—atau membuat pola hubungan baru yang akan semakin mendekatkan kami.
Ul, selama aku masih merasa mampu untuk menahannya—meskipun akhir-akhir ini aku mulai merasa sangat berat dan sering merasa tak lag mampu untu menahannya lebih lama—aku tidak akan mengatakan ini kepada Jun, sungguh aku malah berharap tidak perlu mengatakannya pada Jun. Aku berharap ia menikah sebelum aku mengatakannya, sebelum aku benar-benar tidak mampu menahannya di dada.
Sungguh Ul aku merasa kekakuan hubungan di antara kami penyebab utamanya adalah ini, bias yang muncul setelah aku bercerita banyak hal terkait rahasia yang selama ini tersimpan (termasuk tentang cinta dan pernikahan). Aku yakin ketika Jun sudah menikah maka perlahan-lahan—kalau tidak segera setelah itu—hubungan kami akan kembali normal sebagaimana sebelumnya. Sungguh kayaknya akan benar-benar tidak akan pernah bisa siap untu menghadapi kemungkinkan ketiga, kemungkinkan untuk dijauhi dan dibenci oleh orang yang sangat dekat denganmu, adik yang sangat engkau sayangi dan banggakan.
Ul, kalau tak pikir-pikir mungkin salah satu yang paling tak butuhkan adalah teman bicara, teman yang dengannya aku bisa ngomong apa saja, teman yang aku tak canggung untuk menceritakan seluruh rahasiaku kepadanya. Dan aku masih saja tetap seperti dulu Ul, aku tidak bisa bercerita kepada semua orang, aku hanya bisa bicara pada satu orang saja, cukup satu orang saja. Satu orang yang bahkan aku rela jika ia menceritakan semua yang tak ceritakan kepadanya ke siapa saja. Satu orang yang menjadi bagian dari jiwa dan hatiku. Dan satu orang itu awakmu Ul.
Kemudian setelah perpindahanmu aku merasakan hal serupa pada Jun sehingga akhirnya ia menjadi the one, menjadi orang—setelahmu—yang aku tidak pernah merasa canggung untuk bercerita, untuk mengungkap apa yang selalu tersembunyi dari orang-orang di sekitarku. Satu orang yang dengannya aku bisa berbagi cerita tanpa merasa malu dan ragu. Aku tidak pernah memilihnya Ul, semua berjalan begitu saja.
Terlebih lagi jika terkait dengan bagaimana mendidik dan membimbing Lana, aku benar-benar butuh  teman—dan seringkali ku rasakan bukan sekedar teman bicara--.
Ul, dulu aku berpikir bahwa seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit aku akan mampu memahami dan membimbing Lana, namun kenyataannya berbeda Ul. Semakin lama aku semakin merasa kewalahan terkait dengan bagaimana mendidik dan membimbing Lana. Semakin hari semakin banyak hal-hal mengejutkan yang dilakukan Lana. Hal-hal yang seringkali membuatku merasa tidak memiliki kemampuan apa-apa, hal-hal yang membuatkan semakin meragukan kemampuanku sendiri untuk mendidik dan membimbing Lana. Hal-hal yang membuatkan bergerak menuju yakin bahwa aku tidak akan mampu mendidik dan membimbing Lana seorang diri. Aku membutuhkan teman untuk menyempurnakan pendidikan dan bimbingan kepada Lana. Aku membutuhkan figurmu (figur ibu) bagi Lana karena aku tidak akan pernah sekalipun mampu menggantikan figurmu bagi Lana.
Ya jelas aku sering juga berpikir bahwa tidak fair untuk menempatkan Jun dalam posisi ini. Tidak fair untuk membebaninya menjadi ‘tempat sampah’ bagi seluruh ceritaku. Apalagi aku sadar bahwa yang punya masalah bukan aku saja, aku sadar Jun pun punya masalah yang mesti dipecahkannya, maka semakin biaslah pola hubungan di antara kami berdua.
Ah, entahlah Ul, yang jelas saat ini aku membutuhkan teman untuk berbagi cerita, berbagi angan dan cita. Sebuah kualitas yang hanya engkau miliki, kemudian aku rasakan juga dalam diri Jun.
Ul, I think I just need a friend—truly friend, truly you—to talk, maka mungkin karena itulah hari-hari ini aku begitu merindumu, bergetar suara dan seluruh tubuhku saat menyebut namamu, dan namamu kembali menyertai tiap penyebutan asma Tuhanku bahkan seringkali lebih banyak dari itu.
Dan semua ceritaku kali inipun adalah jalan bagiku untuk sedikit mengalirkan beban kerinduan yang semakin menekan dadaku,
Ah Ul, mungkin saja jika Jun atau Anip membaca cerita-cerita ini mereka akan kecewa atau bahkan marah kepadaku, tapi aku yakin bahwa seiring perjalanan waktu dan pengalaman hidup serta dengan kejernihan pikir, kecerdasan, dan kedewasaannya, suatu saat mereka akan memahami mengapa aku menjadi segila ini. Meskipun tidak pernah sama dengan memaklumi.

Ul, aku merindumu teman, aku merindumu kekasih, aku merindumu jiwa, aku merindumu isteriku… dan kali ini aku benar-benar merindu mewujudmu…(Semoga Ia memperkenankannya. Amin).
Ul, love you so much as always… see you, emmm..ah… (peluk cium untukmu, selalu)