Senin, 18 Maret 2013

Cerita tentang Lana

Hai Ul, gimana kabarmu? aku yakin semakin baik dan sejahtera selalu karena di dimensimu saat ini semuanya hanya akan bertambah baik bagi ia yang memang pada dasarnya baik, dan mungkin semakin bertambah buruk bagi ia yang dalam hatinya tersimpan banyak keburukan. Dan aku yakin engkau termasuk salah satu di antara kelompok pertama.
Alhamdulillah saat ini aku juga dalam keadaan baik--dalam arti secara fisik masih sanggup melakukan aktivitas sehari-hari dan secara psikis masih dapat mempertimbangkan mana baik mana buruk--meski kadang tetap saja sering kehilangan kontrol dan kendali. Makanya aku kembali menulis kepadamu karena dalam keadaan yang kurang baik biasanya aku malah tidak bisa menulis apapun kepada siapapun (dulu biasanya aku cuma memandangmu dan menatapkmu lekat-lekat ketika keadaanku benar-benar tidak baik).
Ul, entahlah apa engkau menyebutnya kali ini, apakah apa yang tak ceritakan kamu anggap lucu, keterlaluan, biasa, kurang ajar atau bagaimanan. Yang jelas ini terkait dengan Lana dan bagaimana cara menghadapi serta mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal.
Ul, mungkin dalam minggu ini aku tidak dalam keadaan yang benar-benar fit, sehingga beberapa kali aku menjadi mudah tersinggung dan tidak bisa mengendalikan diri. Tahu nggak minggu ini aku benar-benar tidak bisa menahan diri untuk tidak jengkel kepada Lana sampai dua kali. 
Pertama, beberapa hari lalu sehabis TPQ ia mengatakan padaku bahwa ia membeli buku ngaji jilid 2, padahal aku tahu ia belum selesai jilid 1. Bukan apa-apa karena sampai saat ini (sudah lebih dari 8 bulan) tetap saja Lana ga mau maju untuk ngaji kepada ustadzahnya jadi bagaimana bisa ia naik ke jilid 2 meskipun teman-temannya mungkin saat ini sudah jilid 3.
Lana bilang ke aku; 'Bapak, Lana tumbas jilid 2', aku kaget lalu aku bilang : 'Lho Lana kan durung rampung jilid 1 kok tumbas jilid 2'. 'Barang', jawabnya (aku ragu apakah ia benar-benar beli atau tidak karena mbak Nani tidak pernah bilang kalau mau beli sesuatu, padahal biasanya kalau beli sesuatu yang terkait dengan sekolah pasti mbak Nani bilang). 'Coba gowo rene Bapak tak nyambut', kataku. Kemudian setelah ia memberikan jilid 2 Qiroati, aku lihat di situ ada nama Salma. Ah...berarti benar dugaanku bahwa Lana tidak membeli jilid 2 tapi dikasih jilid 2 oleh Salma karena ia sudah selesai dan sekarang mulai jilid 3.
Ul, saat itu aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri--meskipun aku masih bisa menahan diri untuk tidak berkata keras namun suaraku sudah menjadi agak bergetar--. 'Lana Bapak ga seneng Lana ngapusi...bla....bla...bla'. Kemudian ia tak suruh duduk di kursi dan tak bilangan banyak hal.
Ul, kamu tahu bahwa sekarang Lana benar-benar sudah paham kalau aku lagi marah meskipun aku tidak berkata keras, dan ia akhirnya iapun menangis. Ketika melihat Lana menangis tetap saja aku tidak bisa dan tidak mampu menahan diri untuk trenyuh juga, bukan sekedar karena Lana menangis, namun lebih karena aku merasa bahwa aku benar-benar belum mampu melakukan apapun untuk Lana, aku belum mampu mengajarinya dengan baik, aku belum mampu membangkitkan rasa percaya dirinya, aku belum mampu membuatnya mulai belajar kemandirian (tahu ga bahwa sampai sekarang di TK pun mbak Nani masih nunggoni di dalam kelas, beberapa kali ku coba untuk mengantarnya sendiri dan tetap saja ia nangis di sana, ga mau masuk kelas....ah....).
Ul, biasanya aku masih bisa menahan diri untuk tidak menangis di hadapan Lana, paling ketika ia sudah tidak baru aku menangis sendiri, tapi kali ini aku benar-benar tidak bisa mengendalikan emosiku, aku menangis di hadapan Lana meski tanpa suara, tapi ia tahu bahwa Bapaknya menangis. Akibatnya, tangis Lana yang sebelumnya hanya terisak menjadi menangis keras karena melihatku menangis juga...ah...Lana sudah sangat paham dengan hal seperti ini dalam usia dini (aku ga tahu juga apakah ini salah atau tidak, tapi selama ini aku berusaha untuk tidak menangis di hadapannya).
Habis magrib, ia mengaji. Tapi tampaknya emosinya benar-benar belum stabil, masih sangat ketakutan (aku merasakan ketakutan pada Lana ketika aku mulai bicara dengannya dengan suara bergetar meskipun selalu ku coba untuk menekannya sehingga tidak menjadi suara yang kasar). Akibatnya ia tidak bisa menyelesaikan fasholatannya, dan ia menangis lagi (mungkin karena merasa tidak bisa menyelesaikan fasholatannya..dan aku khawatir ia kemudian menjadi terbebani dan merasa bersalah karena itu). Akhire, tak suruh masuk kamar dan tidur saja.
Ul, tahu ga--peristiwa ini merupakan salah satu kejadian yang sangat menyesakkan dada, aku merasa benar-benar tak berguna, belum juga aku mampu membimbing Lana dengan baik, belum juga aku temukan cara yang baik untuk mengajarinya, belum juga ku temukan cara yang untuk mengajarkan keberanian dan kemandirian padanya. Jelas aku tidak bisa menyalahkan mbak Nani yang over protective pada Lana, karena bagi mbak Nani mungkin itu dianggap sebagai bagian dari kewajibannya sebagai 'emban' bagi Lana.
Dan baru kali ini aku merasakan betapa emosiku benar-benar menenggelamkanku dalam banjir air mata, sampai bangun tidur pun aku masih merasakan betapa mataku belum benar-benar mampu menghentikan lelehan air mata, betapa dadaku masih serasa sangat sesak mengingat bahwa aku belum berhasil menjadi orang tua yang baik bagi anaknya (untuk tidak mengatakan bahwa aku telah gagal menjadi orang tua yang baik bagi Lana).
Ul, kejadian kedua adalah kemarin (hari Minggu). Tak pikir mbak Nani tidak akan datang karena kakaknya mantu sehingga pasti mbak Nani akan di sana. Tapi perkiraanku salah, mbak Nani datang kemudian melakukan hal-hal biasa (bersih-bersih dan mandikan Lana), lalu tak tanya: 'bude njenengan mboten rewang?'. Ia menjawab; 'mangke bar niki, Dik Lana mengke kulo jak'. Aku bilang; 'Mboten sah bude, Lana ben teng omah mawon kalih kulo'. Aku tahu Ul jika Lana diajak maka mbak Nani tidak akan pernah bisa benar-benar rewang karena Lana akan selalu nglendot padanya dan aku ga enak dengan mbak Nani, so aku melarangnya.
Lana seperti biasa ga terima ketika aku bilang seperti itu, kemudian ia selalu mengikuti mbak Nani padahal sebelumnya asyik bermain dengan teman-temannya. Ketika aku melihatnya ia semakin memasang wajah melasi, dan ketika aku bilang 'mboten pareng nderek', ia semakin ngambek dan kemudian perlahan-lahan mulai terisak. Aku tahu Ul, jika sudah begitu pasti mbak Nani akan mengajaknya. Lalu aku bilang; "Nangis gih, ngko tak lebokke kamar trus tak kunci". Lana semakin sembab lalu menangis. Aku tarik ia lalu ku masukkan kamar, dan tak kunci dari luar (bukan apa-apa biar mbak Nani bisa berangkat rewang tanpa harus dengan Lana). Jelas Lana nangis keras luar biasa ketika ku masukkan kamar bahkan ia menendang-nendang pintu kamar minta untuk dibukakan. 
Sungguh Ul, sebenarnya hatiku juga sakit ketika mendengar Lana menangis meraung-raung dari dalam kamar, tapi aku berpikir bahwa Lana mesti sedikit demi sedikit belajar untuk tidak selalu ikut ke mana mbak Nani pergi. Kalau sudah seperti ini, mbak Nani pun ga berani menolong Lana, dan setelah mbak Nani berangkat baru aku bukakan, itupun setelah ia aku suruh diam.
Ul, benar-benar ga tega aku melihatnya menangis sesenggukan seperti itu, setelah ia mulai benar-benar diam dari tangisnya, aku tanya Lana 'gelem jalan-jalan?' 'Purun', jawabnya. 'Nang ngendi?' tanyaku, 'muter-muter thok', jawabnya. Lalu aku mengambil helm dan berkata padanya, 'nang Purwodadi purun mboten?', ia mulai bisa kembali tersenyum dan berkata 'purun', 'ambil helm, tutup lawang mburi', kataku.
Lalu ia tak ajak ke Luwes dan tak tanya mau beli apa, ia menjawab mau beli buku bacaan untuk belajar. Tahu ga Ul, pas sudah di atas di tempat buku, ia bilang; 'Bapak Lana tumbaske jam ya', aku bilang; 'dipakai ga, jam sing ditumbaske mbak anip ae ga dipake', ia bilang; tak nggo tak nggo bapak, tumbasno ya?' katanya memelas. Akhirnya setelah ia beli buku belajar membaca ia tak suruh untuk milih jam yang ia inginkan.
Yah, mungkin itu bisa tak anggap sebagai kompensasi karena telah tak hukum dengan cara memasukkannya ke dalam kamar...he he...
Wis disik ya, sudah jam setengah 7, ki mesti mulai persiapan untuk cari/bikin sarapan Lana sebelum berangkat sekolah. see you...
 Love you so much as always....

Jumat, 08 Maret 2013

malam ini kita menari dan menyanyi lagi, mau kan?

malam ini aku ingin kembali menari bersamamu
meliuk bersama ombak kehidupan
mendesir ikuti arus angin badai topan

malam ini aku ingin kembali bernyanyi bersamamu
lagukan segala indah dalam hening sunyi
mendayu segala syair bahasa hati

malam ini aku ingin kembali pejamkan mataku
undang hadirmu dalam segala sempurnamu
duduk di depan rumah memadu rindu
sirnakan segala huruf, kata, dan kalimat bermutu
biarkan mata kita bicara dan beradu

dalam Fatihah ku sebut namamu
ulurkan tangan untuk kembali menari kalbu
bersama berputar nikmati indahnya rindu
dengan iringan seruling Daud yang mendayu
getarkan denyut-denyut kita yang semakin menyatu

melantun Yaa Siin resapkan makna di jiwa
pengiring dendang nyanyian kita
seperti syair-syair para pecinta
satukan dua menyatu bersama

malam ini aku ingin kembali menari bersamamu
meliuk melentur ikuti irama kehidupan
selusuri relung-relung keabadian dalam kefanaan

bersamamu malam ini aku ingin keluar dari ragaku
melihat tempat entah kapan akan kita huni
sejenak kembali sekedar menggandengmu
                  kembali rasakan lembut kulitmu
                     kembali hirup wangi aromamu
                         kembali tatap teduh matamu

malam ini aku ingin kembali menari bersamamu
ikuti irama Fatihah,
                          Yasin,
                              Ikhlas,
                                  Mu'awwidzatain,
                              tasbih,
                           tahlil,
                       tahmid,
dan shalawat sang nabi

malam ini aku ingin kembali menari bersamamu
sambil senandungkan kembali setiap jengkal kisah kita

malam ini aku ingin kembali menari bersamamu...
ulurkan tanganmu kan ku sambut dengan segenap rindu...