Rabu, 27 Februari 2013

tak critani Ul...(bagaimana menurutmu?)

Kembali ingin bercerita padamu teman.
Ul, hari ini kayake benar-benar menjadi titik nadir semangatku dalam mengajar. Aku benar-benar males bukan main....tak lagi benar-benar mampu ku rasakan semangat dalam setiap kelas yang ku masuki hari ini. Dan kau tahu Ul, kondisi tanpa semangat inipun mendapat jawaban yang sama dari setiap kelas yang ku masuki, anak-anak tampaknya juga mengalami hal yang sama--atau mungkin karena gurunya lagi ga mood sehingga mereka juga menjadi ga mood--tak kurasakan semangat belajar mengalir dari kelas-kelas yang ku masuki.
Ah, entahlah Ul, ga ingin aku mencari kesalahan dari berbagai hal yang ada di luar diriku. Yang pasti aku tahu bahwa aku lagi tidak dalam keadaan normal--dalam pengertian psikologis--sehingga layak mengajar dan masuk kelas. Benar memang ada beberapa hal yang membuat aku kecewa terkait dengan proses belajar mengajar dan kalender akademik, tapi tak pikir itu belum akan menjadi alasan yang cukup bagiku sehingga aku menjadi begitu malas dan tidak ingin mengajar. Mungkin itu hanya merupakan faktor mendorong saja, karena pada akhirnya faktor psikologisku lah yang tampaknya banyak menentukan keadaanku yang ngaco ini.
Ul, kadang aku berpikir untuk berhenti ngajar saja. Kadang aku berpikir untuk sekedar cuti dan mengembalikan segala semangat dan kesigapan mengajarku. Hari ini Ul aku benar-benar tak layak untuk masuk ke sebuah kelas, benar-benar tak layak untuk menyampaikan sesuatu di depan kelas, benar-benar tak layak untuk menjadi seorang pembimbing bagi peserta didik, benar-benar tak layak dan tak memiliki kualifikasi sebagai seorang guru. Hari ini aku hanyalah orang yang kehilangan semangat, seperti orang yang sudah patah arang.
Ul, sungguh tak terpikir dalam benakku untuk menyalahkan orang lain, menyalahkan kondisi dan situasi, menyalahkan peserta didiknya, menyalahkan segala hal yang berada di luar diriku sendiri sebagai faktor penyebab segala kekacauanku dalam mengajar.
Kau tahu Ul, bahkan saat ini pun aku tak terpikir sama sekali bagaimana mempersiapkan anak-anak kelas IX untuk menghadapi Ujian Akhir mereka, bahkan tak terpikir bagaimana mempersiapkan mereka secara mental dan karakter. Aku benar-benar tak layak menjadi seorang pengajar, apalagi guru pada hari-hari ini. Terlalu ngawur, terlalu tak bisa mengendalikan diri, terlalu tak bisa memberi keteladanan bagi murid-muridku.
Ul, hari-hari ini diriku diliputi oleh selaksa kemarahan dan dendam--terutama terkait dengan sekolah dan segala tetek bengeknya--. Tak tahulah Ul kenapa akhir-akhir ini aku seperti kehilangan kendali, seperti tak lagi tahu apa tujuan dan target yang pernah aku tetapkan ketika aku memutuskan untuk menjadi seorang pengajar? Rasanya hari-hari ini hatiku penuh dengan dendam dan kemarahan, aku seperti terseret dalam arus untuk selalu mencerca dan merendahkan, mengkritik dan menyalahkan, dan mungkin juga merasa bahwa diri jauh lebih baik dari setiap orang yang saat ini berada dalam tampuk kekuasaan.
Ul, aku bingung dan sungguh tak tahu lagi apa yang mesti aku lakukan, Apakah aku mulai terserat dalam arus ambisi dan keinginan? apakah aku mulai hanyut dalam hayalan untuk memuncaki tampuk kepemimpinan (sesuatu yang dulu sering aku jadikan bahan tertawaan denganmu, kekuasaan yang hanya sekelumit dan tak begitu menyenangkan)?, Apakah ambisi kekuasaan telah begitu menguasai diriku dan mengejawantah dalam setiap gerak langkahku di sekolah dan dalam segala sesuatu yang terkait dengan sekolah?. Ataukah ini hanya merupakan salah satu imbas dari kekacauan jiwaku yang lain?
Ah tak tahulah, yang jelas aku benar-benar mulai ketakutan, aku benar-benar mulai merasa bahwa setiap yang aku lakukan selalu penuh dengan bias dan keinginan, aku benar-benar mulai merasa bahwa setiap yang aku putuskan semakin tidak dapat lepas dari kesan bahwa aku menginginkan kekuasaan, dan aku juga mulai benar-benar ketakutan karena kini aku tak lagi mampu menjawab dengan tegas bahwa aku benar-benar tak menginginkan kekuasaan, tak lagi aku mampu menjawab dengan lugas bahwa aku benar-benar tak ingin menjadi kepala.
Ul, aku mulai merasa bahwa sekarang kemanfaatan mungkin tak lagi keluar dari setiap tindakan yang aku lakukan, semua berujung pada ambisi, semua berujung pada keinginan untuk menjelekkan orang lain dan menyanjung diri sendiri. Ah, gilanya aku Ul...
Ul, aku kembali mempertanyakan apa selama ini aku usahakan, apa yang selama ini aku anggap sebagai kebaikan, aku anggap sebagai tindakan yang aku lakukan hanya demi kebaikan sekolah, hanya demi kemajuan sekolah, hanya demi pendidikan dan pengembangan anak-anak didik. Aku kembali mempertanyakannya, jangan-jangan semua hanya topeng, hanya tabir yang aku gunakan untuk menutupi maksud sebenarnya, hanya semprotan minyak wangi untuk menutupi busuknya ambisi diri.
Ul, sungguh dalam hal ini aku benar-benar mengharap kemarahanmu, mengharap engkau menceramahiku tentang nilai dan segala keluhuran nurani. Aku benar-benar berharap engkau kembali hadir dan mengingatkanku, menarikku kembali dari arus ambisi yang mulai menenggelamkanku. Telingaku begitu merindu seluruh kata pedasmu saat aku mulai keluar dari jalanku, mulai melenceng dari tujuan awal perbuatan.
Aku merindumu teman, merindu setiap katamu yang menyadarkan ku kembali dari keterlenaan semu, merindu setiap raut kusut dan jutekmu yang membangunkanku kembali dari lelap dan mabuk ambisi dan nafsu, merindu diammu yang memaksaku selalu berpikir apa yang telah aku lakukan, berpikir kesalahan apa yang telah aku lakukan pada diriku, berpikir pengingkaran apa yang telah aku lakukan terhadap nilai dan sikap yang tentu engkau pahami, merindu setiap cara yang kau gunakan untuk menarikku dari lumpur kehinaan, membelokkan langkah salahku menuju arah tujuan, menjagaku dari kesilapan dan kealfaan.
Aku merindumu Ul, merindumu temanku, sahabat jiwaku, detakku, denyutku, jiwaku...
Aku merindumu, merindu setiap tindakanmu untuk menyadarkanku kembali dari kemabukan dan kegilaan ambisi tak sejati.
Sudah bosan aku dengan segala dendam dan kemarahan, aku takut tiadanya kemanfaatan dalam setiap tindakan yang aku lakukan, aku takut bukan kebajikan yang aku ajarkan namun keculasan yang aku tanamkan pada murid-muridku. Aku takut dan aku merindumu karena engkau penawar segala takutku, engkau pembangkit seluruh keberanianku....
Ul, kadang aku berpikir mestikah aku tinggalkan semua agar ku mampu kembali mengendalikan diriku, mestikah aku lepas semua hubungan dan keterkaitanku dengan sekolah agar kembali aku bisa menapaki jalanku, mestikah aku menjadi seperti pengecut yang lari dari masalah yang ada di hadapanku?
Aku tahu Ul, tanpamu mungkin aku butuh waktu untuk mampu kembali pada garisku, tanpamu aku akan membutuhkan lebih banyak energi untuk menemukan kembali semangatku, tanpamu segalanya tentu akan jauh menjadi lebih sulit dan lebih berat bagiku, tanpamu aku bahkan mungkin tidak akan pernah mampu benar-benar mampu bangkit kembali, menemukan arah tujuan yang pernah kita canangkan.
Maka aku merindumu, mengharap hadirmu...hadir dalam jiwaku, hadir dalam ragaku, hadir dalam pikirku, hadir dalam segala wujud yang engkau diperkenankan menyandangnya...agar segalanya menjadi lebih mudah bagiku, agar segalanya menjadi lebih cepat bagiku, agar segalanya menjadi lebih bermakna dan bergelora, agar segalanya kembali pada garis edarku, garis edarmu, garis edar kita...ujung takdir kita, sempurna peran dunia yang telah digariskan bagi kita...

Ul, aku merindumu dalam peran apapun yang engkau mainkan untukku...
aku mencintamu dalam kehadiran apapun yang engkau tampilkan di hadapku...
aku merindumu jiwaku...
aku mencintamu diriku...

Sabtu, 23 Februari 2013

aku merindumu teman

Ul, semakin yakin aku bahwa setelah Tuhan engkau adalah segalanya bagiku. Semua kebutuhan jiwaku ada dalam dirimu, bahkan mungkin jiwaku sendiri berada dalam jiwamu. Engkau isteriku, perempuan yang selalu menemani dan memenuhi seluruh kebutuhanku, raga dan jiwaku. Engkau kekasihku, perempuan yang seluruh cinta dan rinduku tertuju. Engkau pasanganku, seseorang yang dengannya tertutup seluruh kekuranganku sehingga sempurna diri kita. Engkau teman dan sahabatku, seseorang yang kepadaku aku selalu mengadu, menceritakan segala suka gembiraku, seluruh luka dan dukaku. Engkau sainganku, seseorang yang membuatku selalu terpacu untuk berkembang sehingga layak untuk saling beradu ilmu dan berbagi pengetahuan.
Ul, hari ini aku benar-benar berada dalam kegilaanku. Aku tak tahu apakah ini puncak dari seluruh kegilaanku atau baru tanjakan kecil menuju puncak kegilaanku. Tak ada kendali, tak ada pesaing, tak ada teman, tak ada pasangan, tak ada kekasih, tak ada isteri. Sendiri dalam gilaku, sendiri dalam gamangku, sendiri dalam kekacauanku.
Ul, aku benar-benar lagi merindumu temanku. Terlalu banyak hal yang seakan tak kuasa lagi ku tahankan, dan aku membutuhkan hadirmu temanku, sahabatku, karena aku hanya bisa menceritakan semuanya kepada temanku, kepada sahabatku. Tidak bisa dan tidak pernah terpikir olehku aku bisa menceritakan segala sesuatu kecuali kepada temanku, kecuali kepada sahabat yang telah mampu menggenggam hati dan jiwaku.
Ul, aku merindumu, benar-benar merindumu. Sungguh hari ini aku benar-benar membutuhkan temanku. Aku sepi, benar-benar sepi, tanpa teman, tanpa sahabat. Aku menunggumu sahabatku, aku menungguku untuk kembali bercerita padamu, kembali mengisahkan seluruh peristiwa dan kisah yang membakarku, kepiluan yang meluluhkanku, kesedihan yang menghayutkanku. 
Aku merindumu temanku, aku merindumu di ujung waktu, di tapal batas ruang dan waktu, di tempat yang memungkinkan kita untuk bertemu, dalam semesta jiwa, dalam wujud cahaya.
Ul, mungkin kesalahan terbesarku adalah meyakini bahwa engkau menitis dalam diri adikmu, sehingga mulai ku yakinkan diriku bahwa engkau--temanku, kekasihku, isteriku--ada dalam dirinya. Dan perlahan-lahan memang ku rasakan kenyamanan seorang teman dalam dirinya dan aku mulai bergantung padanya--sebagaimana aku meyakini bahwa engkau segalaku--. Lalu, terjadilah apa yang mesti terjadi, satu kesalah aku lakukan, sebuah kesalahan yang tak pernah ku sengaja, hanya satu kata di tempat yang tidak tepat, namun menjadi pemutus segala yang coba aku jaga.
Ul, aku sadar aku bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya orang luar yang kebetulan menjadi suami darimu, dari kakak yang sangat dicintainya. Aku mencoba untuk meminta maaf--meski aku juga tidak pernah mengerti apakah ia sudah memaafkanku atau belum, apakah caraku meminta maaf diterima atau malah semakin membuatku kecewa?. Aku tak bisa memaksanya untuk kembali membuka diri padaku, kembali bisa saling bertukar cerita denganku. Aku tak bisa. Aku tak punya hak untuk itu. Aku tahu itu.
Ul, aku hanya mencoba untuk tetap berhubungan baik dengannya. Apa yang ada di hatiku biarlah tersimpan di hatiku sebagaimana mestinya.
Dan hari ini aku benar-benar membutuhkan temanku Ul, aku membutuhkanmu, aku merindukanmu. Terlalu gila aku hingga aku sendiri takut dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Aku merindumu sahabat jiwaku, aku ingin kembali bercerita padamu, merasakan belai tanganmu yang sanggup melelehkan segala ganjalan beban di dadaku. 
Aku merindumu sahabatku, temanku, kekasihku, isteriku...
Ul, meski kehadiranmu sebagai isteri bagi kelelakianku aku rindukan, namun semua masih bisa aku tahankan. Ada banyak hal yang bisa aku lakukan untuk meredam kerinduanku pada keperempuanan isteriku. Namun, kehilangan teman, ketiadaan teman rasanya benar-benar tak sanggup aku tangguhkan. Kehilangan teman, ketiadaan sahabat mungkin malah bisa menghancurkan dan membunuhku. Kesepian tanpa teman benar-benar kesepian tak terperi, tak tertahankan.
Ul, mungkin jika aku tak juga meyakini bahwa apapun yang terjadi adalah keputusan terbaik Tuhan, mungkin sudah ku buang seluruh harapan, tak perlu lagi pertahankan nafas yang disisakan. Hanya keyakinan itu yang membuatku tetap bertahan, tetap menyisakan setitik harapan, meski kadang seakan hampir padam.
Ul, jelas tak mungkin bagiku mempertanyakan apa yang telah ditetapkan Tuhan, apalagi memprotes dengan berkata 'Mengapa aku harus mengalami ini Tuhan?'. Kadang dalam ketak berdayaan hanya satu satu do'a yang mampu ku lafadzkan; 'Tuhan, mohon ikhlaskan hatiku untuk menerima seluruh tetap-Mu'.
Ul, aku merindumu temanku, aku merindumu, sangat merindumu sahabat jiwaku.
Aku sangat ingin bertemu denganmu, sangat menceritakan segalanya kepadamu, kembali berbagi kisah denganmu, mendebatmu, beradu alasan dan tujuan.
Ul, aku merindumu sahabatku, benar-benar merindumu....
Semoga Ia mendengar jiwa kita dan memperkenankan kita bersua di alam yang tak lagi membutuhkan raga. Tunjukkan padaku di mana kita bisa bertemu, dan aku akan ke sana untuk menemuimu, menemui rinduku, menemui jiwaku, menemui kekasihku, menemui sahabatku, menemui temanku.

Aku merindumu Ul, benar-benar merindumu....semoga malam ini aku bisa melintas batas ruang waktu...semoga malam ini engkau memiliki waktu...semoga malam ini kita diperkenankan memadu rindu...

Jumat, 22 Februari 2013

Bagian dari gilaku


Ul, kayake aku benar-benar stres ki, sampai bingung mesti dari mana aku cerita. Hari-hari ini aku benar-benar butuh teman cerita, seseorang yang mau mendengar ceritaku dan aku bisa menerimanya sebagai orang yang mendengar ceritaku. Seseorang yang aku benar-benar nyaman untuk bercerita apapun kepadanya dan hatiku sedikit lega setelah selesai bercerita, seseorang yang aku tidak akan pernah malu menceritakan segala keluhnya, lemahku, gilaku, seseorang yang aku tidak pernah merasa takut ia akan membeberkan segala rahasiaku, seseorang yang meski ia membeberkan rahasiaku aku pun tidak akan marah karena itu. Seseorang yang itu adalah engkau di alam nyataku dan setelah itu Jun beberapa waktu yang lalu sebelum kemudian aku melakukan kesalahanku dan ia tak lagi mau mendengar cerita-ceritaku (meski aku tetap berharap ia masih mau membaca cerita-ceritaku).
Ah, entahlah Ul, hari-hari ini kayaknya hatiku penuh dengan kebencian, penuh dengan kemarahan, mudah terpancing oleh emosi, mudah menyalahkan segala sesuatu atas hal buruk yang terjadi. Tidak di rumah, tidak di sekolah, beberapa hari ini aku terlalu sering meletup-letup mengumbar kemarahan, menyingkirkan kepedulian.
Ul, kayaknya aku mulai benar-benar kehilangan kendali, mulai benar-benar kehilangan arah dan langkah. Semua seakan berjalan bertentangan dengan apa yang ku rencanakan, sehingga membuatku semakin gak karuan, semakin ga jelas, dan semakin kehilangan tumpuan.
Ul, aku benar-benar tidak tahu dengan pasti apa sebenarnya yang terjadi, apa yang menjadi sebab sehingga aku mulai kehilangan kendali diri, mulai menyimpang--bahkan mulai jauh menyimpang--tanpa mampu lagi ku kendalikan, tanpa mampu lagi ku belokkan (meski pada titik-titik tertentu kadang muncul kesadaran bahwa apa yang aku lakukan telah menyimpang dari segala yang biasanya aku lakukan).
Ul, secara psikologis aku tahu aku tidak dalam keadaan yang cukup stabil, emosiku benar-benar susah ku tebak sendiri, kadang dengan tiba-tiba aku menjadi sangat marah tanpa sebab pasti. Entah apa sebenarnya yang tersembunyi dan tak mampu benar-benar ku lepaskan dari relung hati. Entah apa yang memicu semua kegilaan dan ketakwarasan ini. Aku benar-benar tak mengerti.
Ul, ibadahku pun kocar-kacir, morat-marit. Masa dalam dua minggu ini aku kehilangan isya' ku. Aku sendiri hampir tidak percaya kalau lingkaran ini menjadi semakin sempit, apalagi kebiasaan-kebiasaan lain yang coba ku bangun beberapa waktu lalu, kebiasaan-kebiasaan yang ku coba bangun untuk menjaga hatiku, menjaga kesadaranku, menjaga jiwaku aku tetap dalam garis yang mententramkan. Qur'an sudah tak lagi tersentuh tanganku lebih dari dua bulan, apalagi terlafadzkan lisanku, tahajjud tak lagi mengisi malam-malamku--mungkin sudah hampir dua bulan--meski tengah malam kadang aku terbangun dan tak lagi mampu pejamkan mataku.
Ul, aku bukan orang yang lagi melakukan perlawanan, aku bukan pula orang yang lagi ingin menarik perhatian Tuhan dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah kebaikan, bukan orang yang mendekati Tuhan dengan jalan yang seakan berlawanan, aku bukan pengikut Tantra Kiri, aku bukan pula Juhala Hukama, aku hanya orang yang seakan tak lagi memiliki pegangan, terombang-ambing di tengah samudera kehidupan, terlempar ke atas ke bawah ke kiri ke kanan dalam badai kehidupan. Segalanya berjalan di luar kesadaran, berjalan begitu saja tanpa terencana--meski terlalu sering sesal menunggu di akhir sana. Dan menangis selalu mengiringinya (ah...tetap saja aku cengeng ya...biarlah...)
Ul, aku seperti kehilangan kembali seluruh nilaiku, aku kehilangan jiwa dan ruh yang menggerakkan raga dan inginku, aku seperti tubuh kosong yang melakukan kebiasaan-kebiasaan alamiyah hanya untuk penuhi tuntutan jasmaniyah, aku seperti robot yang digerakkan oleh kebiasaan, bukan oleh titah yang ditetapkan.
Ul, kadang aku berpikir bahwa aku memang sudah mati, hanya tersisa nafas dalam raga yang tak lagi berjiwa, menunggu kematian untuk melepaskan ikatan dengan ruang waktu, lalu kembali bersatu denganmu. Kadang aku berpikir bahwa aku memang tak lagi punya impian, harapan, dan angan, segalanya telah selesai bersama dengan saat engkau melintas ruang waktu. Yang ku lakukan selama waktu tungguku hanyalah mencoba memenuhi segala inginmu, mimpimu, harapanmu yang kadang saat ku capai aku malah merasa menjadi semakin kehilangan segalanya, karena tujuanku hilang satu, sisa jiwaku perlahan meninggalkan hari-hariku. Aku kadang berpikir bahwa tak perlu lagi aku mempertahankan sisa nafas ini, semakin lama semakin perih tiap tarikan nafasku, semakin pedih tiap hembusan nafasku.
Namun Ul, ketika aku teringat Lana, ketika aku melihat Lana dalam segala kewajarannya, muncul keinginan untuk kembali mempertahankan sisa-sisa nafas kehidupan. Aku mesti membawanya menuju segala kehebatan, menunjukkan jalan menuju pemenuhan takdir kehidupannya di masa depan.
Tapi, Lana bukan impian kita yang tak punya impian, Lana bukan tanah yang engkau inginkan yang dengan mudah bisa aku dapatkan saat segalanya memungkinkan, bukan perjalanan suci yang kita rencanakan untuk menyempurnakan keimanan. Lana adalah impian terbesar kita. Impian yang punya impian, impian yang memiliki angan dan harapannya sendiri. Lana adalah pribadi, hasil cinta suci kita, yang hanya bisa dihebatkan oleh jiwa sabar tegar untuk menjadikannya luar biasa.
Aku tahu Ul, dalam sakitku ini, dalam remuk redam dan kegilaan tanpa kendali ini, dalam segala ketakwarasanku ini, tak mungkin aku mampu menghebatkannya, tak mungkin aku mampu membawanya pada segala keluarbiasaannya. 
Ul, aku hancur Ul, benar-benar hancur, tak ada lagi kualitas kebaikan dalam diriku yang tersisa. Runtuh kembali runtuh. Entah bagaimana aku bisa bangkit kembali. Entah bagaimana aku bisa tegak kembali. Entah bagaimana aku bisa menjadi kembali.
Ul, I need you, benar-benar membutuhkannya, aku membutuhkan uluran tanganmu untuk menarikku dari jurang kejatuhanku, aku membutuhkan seulas senyummu untuk membakar kembali jiwaku yang semakin beku, aku membutuhkan dekapanmu untuk kembali mengikat dan menyatukan puing-puing jiwaku, aku membutuhkan suaramu untuk kembali merangsang telinga jiwaku, aku membutuhkan apapun darimu untuk kembali menghidupkan jiwa dan ruhku. Aku membutuhkan hadirmu untuk kembali menghadirkan diriku, aku membutuhkanmu dalam wujud apapun yang diperkenankan Ia Sang Segala Maha untukku.
Ul, aku mulai ketakutan, aku mulai tak lagi mengenal siapa dan bagaimana diriku, aku mulai kehilangan jati diriku dan aku sangat ketakutan karena itu.
Ul, kadang aku benar-benar ingin mematikan seluruh rasaku, mematikan seluruh ingin dan anganku, biar saja aku tak punya apa-apa lagi, biar saja aku tak hidup lagi, biar saja aku hanya raga tanpa jiwa, biar saja langkahku bukan aku yang menentukannya, biar saja.
Ul, hanya saja Lana tak membiarkanku melakukannya, semakin aku larut dalam gilaku, semakin aku lebur dalam pengabaianku, semakin aku merasa bersalah padanya, semakin aku menangis darah saat memandang wajah tenang dalam tidurnya. Serasa tak ada guna lagi aku, serasa tak ada perlu lagi aku di dunia, dan semakin ada yang layak aku tempati selain neraka.
Tidakkah demikian Ul? Adakah tempat di surga bagi ia yang tak mampu bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewajibannya, adakah tempat di surga bagi ia yang tak mampu menjalankan amanat yang dititipkan kepadanya, adakah tempat di surga bagi ia yang tak mampu menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya? Tidak ada kan?...
Ah, entahlah Ul, terlalu banyak wajibku yang telah ku tinggalkan, terlalu banyak wajibku yang ku tunda dan belum ku laksanakan, terlalu banyak wajibku yang mungkin tak akan pernah mampu aku jalankan.
Ah, entahlah.....sudahlah....
yang jelas aku merindumu, menanti hadirmu dalam wujud apapun yang diperkenankan bagiku, atau sebaiknyakah aku segera menyusulmu?


Senin, 18 Februari 2013

padamu dan bersamamu

padamu aku gantungkan seluruh mimpi dan harapan
padamu aku sandarkan segala angan dan capaian
bersamamu aku inginkan akhir perjalanan

sisa nafas ini adalah sebuah persembahan
untuk wujudkan yang kita impikan
sisa nafas ini adalah sebuah keyakinan
akan purna segala yang kita angankan

mungkin hilang sudah mimpi anganku
mungkin sirna pula hasrat hidupku
bersamamu melintas waktu
tinggal menunggu tiba ajalku
seraya tunaikan akhir tugasku
dewasakan dan hebatkan buah cinta rindu

mungkin kita aku tinggal menunggu waktu
menanti saat tepat bagi kita untuk bertemu
dan sambil menunggu aku akan melakukan sesuatu
biar tak hanya duduk termangu

mencoba beri manfaat yang aku mampu
mencoba tebar guna seluas jangkauanku
tak akan ku hirau segala suara ragu
tak akan ku peduli cemooh mengitari
tak akan ku pikirkan segala cela nista

sungguh aku tak ingin membuktikan sesuatu
aku hanya menunggu waktu
mengerjakan sesuatu daripada hanya duduk termangu

Jumat, 15 Februari 2013

malam ini....

entahlah Ul, malam ini aku ingat semuanya, semua yang telah kita alami, segala kata yang pernah kita ucapkan, ingat segalanya tentangmu, tentang kita.
Ga tahu juga Ul, malam ini aku juga ingat semua yang pernah dikatakan pae--guru sekaligus mertuaku--, segala yang telah dinasehatkan kepadaku tentang hidup, tentang tujuan, tentang apa yang mesti dipertahankan dalam hidup.
Dan setiap kali aku ingat semuanya, aku hanya bisa menangis, menangis, benar-benar menangis.
Dan kau tahu Ul, aku senang, benar-benar bahagia karena aku masih bisa menangis, menangis bukan karena sedih, menangis karena bahagia karena dengan menangis aku masih yakin bahwa hatiku belumlah sekaku yang itu, hatiku masih peka, masih mau mendengar detaknya, masih mau mendengar denyutnya, masih mau mengikuti getar tanpa pernah merasa malu untuk mengakui kurang, mengakui salah, mengakui bahwa orang lain bisa lebih baik, tidak pernah merasa malu untuk belajar menjadi lebih baik, belajar dari siapapun, tak peduli orang tua, orang muda, bahkan anak-anak sekalipun.
Terima kasih ya Allah, masih engkau perkenankan aku menangis, menangis yang benar-benar menangis, menangis yang muncul begitu saja, menangis yang bukan karena sekedar kesedihan dan kekecewaan....
Syukron 'alaika ya rabb.....

Sabtu, 09 Februari 2013

coretan pagi

Aku tahu dan percaya Ul bahwa apa yang sering kau katakan adalah benar. Bahwa pada akhirnya setiap orang mesti sendiri. Pada akhirnya hanya diri kita sendiri yang akan menanggung dan bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan. Tapi sungguh Ul, benar-benar sendiri adalah sesuatu yang sangat berat, sangat menekan dada, sangat menggelisahkan jiwa.
Sungguh Ul, merasa tidak sendiri adalah kekuatan luar biasa untuk bertahan dari segala badai dan cobaan hidup. Sungguh Ul, ada seseorang yang selalu menemani perjalanan merupakan sesuatu yang akan membuat seseorang mampu bangkit berjuta kali hingga mencapai tujuan kehidupan. Sungguh Ul, memiliki seseorang yang senantiasa bersedia mendengar setiap kisah perjalanan adalah sesuatu yang akan membangkitkan semangat untuk terus melakukan perjalanan, memiliki seseorang yang selalu bersedia untuk mengulurkan tangan saat kerikil tajam memaksa kita menunduk dan terjatuh adalah anugerah yang tak terkatakan.
Sungguh Ul meski pada akhirnya setiap orang akan sendiri, namun teman perjalanan sungguh sangat meringankan beban dan mengurangi tekanan berat rintangan perjalanan.
Aku berharap dan menengadahkan tangan kepada Ia yang Memiliki Sempurna Kekuasaan, semoga engkau abadi mengalir dalam nadi, mendetak bersama jantung, semoga lampu ruang hatiku senantiasa engkau nyalakan dengan cintamu, biar terang seluruh relungku, biar hangat dinding hatiku, biar aku tak pernah merasa sendiri.
Selalu engkau adalah anugerah terbesar hidupku, jalan bagiku untuk lebih mengenal cinta, pengorbanan, keyakinan, iman, kebaikan, dan kemanfaatan.
Terima kasih untuk seluruh waktumu bersamaku, terima kasih untuk kerelaanmu menghuni sempit ruang hatiku, terima kasih untuk setiap keindahan yang selalu kau alirkan dalam getarku. Terima kasih untuk seluruh curahan cinta dan rindu.
Ah....aku benar-benar merindumu, rindu mengurai cerita kepadamu, rindu menyandarkan kepala di dadamu, rindu.....
Love you so much Ul.....ku harap sebelum matiku ku sudah mampu lupakan ragaku hingga mampu kita bertemu dalam sempurna jiwa, melintas batas ruang waktu, memadu di angkasa biru....
Ah.....entahlah...

Jumat, 08 Februari 2013

Lana dan Kesehatannya

Hai Ul, hari ini aku mulai lega karena Lana sudah kembali menemukan keceriaannya setelah empat hari uring-uringan karena kondisi badannya yang lagi tidak fit, meskipun masih menyisakan manja (biasa kan Ul jika ia habis sakit biasanya emang seperti itu kan?).

Ya Ul, malam Sabtu lalu Lana badannya panas bukan main. Meskipun masih mengikuti pola yang sama (habis Isya masih normal namun mulai sore wis mulai nglendot dan terkesan males-malesan kemudian ketika tidur mulai panas dan ketika menjelang jam 12 malam menjadi sangat panas hingga ia tidak bisa tidur lagi dan badannya menggigil serta bergetar karena menahan panas), tetap saja selalu memunculkan kekhawatiran dan ketakutan tersendiri bagiku, dan selalu saja menghadirkan hal-hal baru yang belum pernah muncul pada kondisi sebelumnya.

Ul, biasanne kan kalau Lana panas tengah malam, kemudian tak ajak keluar maka menjelang subuh panasnya mulai turun sehingga ia akan bisa istirahat (tidur) hingga pagi, wingi iku panasnya ga mau turun-turun hingga pagi sehingga langsung aku periksakan ke bidan desa. (meski di hadapan siapapun aku berusaha tenang dan mensikapi sakit Lana secara biasa tetap saja aku tidak bisa menghilangkan rasa takut dan khawatirku kalau terjadi apa-apa dengan penyakit kali ini. lagian sekarang ini kan masih musim demam berdarah, he he).

Selain itu Ul, biasanya kalau panas model kayak gitu, biasanya hanya satu malam dan ketika siang akan turun panasnya, lha kali ini bahkan sampai siang panasnya ga turun-turun bahkan obat dari bidan desa tak pikir ga ada efeknya sehingga aku berpikir untuk membelikannya obat malaria, tapi ga jadi karena mbahe sudah membelikannya sirup turun panas. Obat dari bidan tak tinggalkan dan aku beralih ke sirup itu yang meksipun tidak terlalu mengurangi panas tapi membuat Lana mulai mau bermain.

Tapi Ul, malam berikutnya kembali Lana ga bisa tidur mulai jam 12 hingga pagi hari. Aku semakin tambah khawatir jangan-jangan Lana kena gejala demam berdarah, tapi ketika ta teliti ciri-cirinya, kayake ga da ciri-ciri kena demam berdarah, ia masih mau makan dan tidak muntah, tidak ada bintik-bintik merah di kulit yang mencurigakan (kecuali bintik-bintik yang seperti orang 'dabagen', bintik-bintik yang muncul akibat suhu badan yang sangat panas).

Aku mulai berpikir jika sampai 3 hari suhu badan Lana tidak turun-turun dan jika ia mulai ga mau makan atau muntah, maka ya mau tidak mau aku akan membawanya ke rumah sakit (dan pikiran membawa Lana ke rumah sakit semakin menggelisahkanku, meskipun tetap saja aku berusaha untuk tenang di hadapan orang-orang di sekitarku).

Ul, masih ada dua hal yang akan aku lakukan sebelum hari ketiga, pertama aku akan kasih Lana paracetamol dan amoxilin (obat yang biasa aku berikan saat ia mengalami panas seperti ini namun waktu itu aku lagi kehabisan) dan jika tidak turun juga maka aku akan periksakan ke pak Wanto. Kemudian aku cari amox dan paracetamol, lalu ku minumkan ke Lana sore hari (aku berpikir jika nanti malam masih panas maka aku akan perikasakan ke pak Wanto).

Alhamdulillah Ul, suhu badan Lana mulai turun sehingga ia mulai bisa tidur tapi belum bisa senyenyak biasane. Ia ikut bangun ketika aku bangun dan maunya selalu ditemani dan dipeluk saat tidur sehingga nyaris aku tidak bisa melakukan apa-apa, but it's OK).

Senin, meskipun suhu badannya sudah turun namun Lana malah menjadi susah makan (mungkin karena pahit lidahnya sehingga ia males makan), Muncul lagi kekhawatiranku, jangan-jangan ini bagian dari model pelana kuda demam berdarah, kemudian aku periksa lagi kondisi badannya dan tidak ku temukan ciri-ciri yang menunjukkan gejala demam berdarah, aku lega. Dan sorenya aku meminta mbak Nani agar besoknya membawa Lana untuk dipijit ke mbah Warsi (tak pikir jangan-jangan Lana kelelahan dan perlu peregangan otot dan badan).

Ul, habis dipijit kondisi Lana semakin baik meskipun masih agak sudah untuk makan dan menjadi manja. Ia menjadi sangat peka ketika tidur tak tinggal (misalnya ke kamar mandi). Ia juga sangat peka ketika aku bangun untuk nyalakan laptop (tak pikir aku bisa nyambi mengerjakan beberapa hal yang terkait dengan administrasi madrasah, sehingga pekerjaan yang sudah kadung numpuk bisa mulai tak kerjakan
). Ia selalu bilang, 'Bapak ojo nyekel laptop terus tah', dan ya sudahlah akhirnya dalam seminggu ini aku ga melakukan apapun.

Dan sungguh Ul aku sangat bersyukur karena malam ini kayaknya Lana mulai kembali ke kondisi tidur nyenyaknya, meskipun tadi beberapa kali bangun pas aku bangun sehingga aku bisa menulis dan bercerita padamu, tapi kayake kini giliranku yang mesti mengambil jatahku Ul (mulai kemarin badanku terasa pegel, mata agak panas, dan pas di kelas rasane ngantuk banget). Tadi malam sudah tak kasih antangin, dan semoga hari ini aku bisa cukup beristirahat karena besok Sabtu aku ada agenda ke MTs N Wirosari untuk mengikuti acara dialog dengan dewan pendidikan.

So, dalam minggu ini pun akhirnya Lana ga berangkat sekolah dan ngajipun masih tak liburkan (kemarin aku tanya ke Lana sudah mau berangkat sekolah durung?, ia mung klesat-kleset yang berarti bahwa ia masih belum mau berangkat. (Ul, tak pikir ga pa-pa lah, sekalian ae libure seminggu, ben digunaka untuk istirahat dulu, he he).

O ya Ul, sekarang memakamkan jenazah di makam utara masjid kayake akan menjadi boleh lagi. Pada Kamis sore kemarin ada warga Jimatan yang meninggal dunia, kemudian warga bersepakat untuk memakamkan jenazahnya di makam utara masjid. Pihak keluarga ga pa-pa asal diurusi sampai akhir. Kemudian orang-orang mengambil strategi untuk mengumpulkan banyak warga di makam utara masjid saat melakukan penggalian. Ternyata juru kunci juga tidak melakukan apa-apa (mungkin ia langsung menghubungi kepolisian karena kemudian datang anggota kepolisian namun tidak mencegah atau melarang aktivitas warga tapi katanya bersama dengan pak lurah mendatangi juru kunci di ruangannya dan ga ngerti apa yang mereka bicarakan tapi yang jelas tidak ada yang mencegah proses penggalian makam tersebut). Cerita yang berkembang (entah benar entah tidak) katanya waktu pak lurah dan kapolsek Tawangharjo bertemu dengan juru kunci terjadi dialog yang menanyakan kepada pak lurah apakah beliau berani bertanggung jawab jika pemakaman di utara masjid dilakukan? kemudian di jawab pak lurah 'ya, saya bertanggung jawab', dan akhirnya pemakaman di utara masjid diperbolehkan (dalam arti tidak dicegah) tapi katanya juga memakamkan jenazah di utara masjid kembali diperbolehkan khusus untuk warga Jimatan.

Ul, tak pikir ga pa-pa lah, jika warga Jimatan sudah diperbolehkan untuk kembali memakamkan jenazah di utara masjid, maka sebentar lagi semua pasti juga akan diperbolehkan (he he)...

Ul, wis disik ya...wis subuh ki...rindu akan hadirmu semakin menjadi saat aku mulai merasakan kondisi fisik dan psikisku menurun, saat dada serasa sangat sesak untuk bernafas, kala beban pikiran begitu menekan perasaan....

Love you so much....eeemm....ah...