Rabu, 27 Februari 2013

tak critani Ul...(bagaimana menurutmu?)

Kembali ingin bercerita padamu teman.
Ul, hari ini kayake benar-benar menjadi titik nadir semangatku dalam mengajar. Aku benar-benar males bukan main....tak lagi benar-benar mampu ku rasakan semangat dalam setiap kelas yang ku masuki hari ini. Dan kau tahu Ul, kondisi tanpa semangat inipun mendapat jawaban yang sama dari setiap kelas yang ku masuki, anak-anak tampaknya juga mengalami hal yang sama--atau mungkin karena gurunya lagi ga mood sehingga mereka juga menjadi ga mood--tak kurasakan semangat belajar mengalir dari kelas-kelas yang ku masuki.
Ah, entahlah Ul, ga ingin aku mencari kesalahan dari berbagai hal yang ada di luar diriku. Yang pasti aku tahu bahwa aku lagi tidak dalam keadaan normal--dalam pengertian psikologis--sehingga layak mengajar dan masuk kelas. Benar memang ada beberapa hal yang membuat aku kecewa terkait dengan proses belajar mengajar dan kalender akademik, tapi tak pikir itu belum akan menjadi alasan yang cukup bagiku sehingga aku menjadi begitu malas dan tidak ingin mengajar. Mungkin itu hanya merupakan faktor mendorong saja, karena pada akhirnya faktor psikologisku lah yang tampaknya banyak menentukan keadaanku yang ngaco ini.
Ul, kadang aku berpikir untuk berhenti ngajar saja. Kadang aku berpikir untuk sekedar cuti dan mengembalikan segala semangat dan kesigapan mengajarku. Hari ini Ul aku benar-benar tak layak untuk masuk ke sebuah kelas, benar-benar tak layak untuk menyampaikan sesuatu di depan kelas, benar-benar tak layak untuk menjadi seorang pembimbing bagi peserta didik, benar-benar tak layak dan tak memiliki kualifikasi sebagai seorang guru. Hari ini aku hanyalah orang yang kehilangan semangat, seperti orang yang sudah patah arang.
Ul, sungguh tak terpikir dalam benakku untuk menyalahkan orang lain, menyalahkan kondisi dan situasi, menyalahkan peserta didiknya, menyalahkan segala hal yang berada di luar diriku sendiri sebagai faktor penyebab segala kekacauanku dalam mengajar.
Kau tahu Ul, bahkan saat ini pun aku tak terpikir sama sekali bagaimana mempersiapkan anak-anak kelas IX untuk menghadapi Ujian Akhir mereka, bahkan tak terpikir bagaimana mempersiapkan mereka secara mental dan karakter. Aku benar-benar tak layak menjadi seorang pengajar, apalagi guru pada hari-hari ini. Terlalu ngawur, terlalu tak bisa mengendalikan diri, terlalu tak bisa memberi keteladanan bagi murid-muridku.
Ul, hari-hari ini diriku diliputi oleh selaksa kemarahan dan dendam--terutama terkait dengan sekolah dan segala tetek bengeknya--. Tak tahulah Ul kenapa akhir-akhir ini aku seperti kehilangan kendali, seperti tak lagi tahu apa tujuan dan target yang pernah aku tetapkan ketika aku memutuskan untuk menjadi seorang pengajar? Rasanya hari-hari ini hatiku penuh dengan dendam dan kemarahan, aku seperti terseret dalam arus untuk selalu mencerca dan merendahkan, mengkritik dan menyalahkan, dan mungkin juga merasa bahwa diri jauh lebih baik dari setiap orang yang saat ini berada dalam tampuk kekuasaan.
Ul, aku bingung dan sungguh tak tahu lagi apa yang mesti aku lakukan, Apakah aku mulai terserat dalam arus ambisi dan keinginan? apakah aku mulai hanyut dalam hayalan untuk memuncaki tampuk kepemimpinan (sesuatu yang dulu sering aku jadikan bahan tertawaan denganmu, kekuasaan yang hanya sekelumit dan tak begitu menyenangkan)?, Apakah ambisi kekuasaan telah begitu menguasai diriku dan mengejawantah dalam setiap gerak langkahku di sekolah dan dalam segala sesuatu yang terkait dengan sekolah?. Ataukah ini hanya merupakan salah satu imbas dari kekacauan jiwaku yang lain?
Ah tak tahulah, yang jelas aku benar-benar mulai ketakutan, aku benar-benar mulai merasa bahwa setiap yang aku lakukan selalu penuh dengan bias dan keinginan, aku benar-benar mulai merasa bahwa setiap yang aku putuskan semakin tidak dapat lepas dari kesan bahwa aku menginginkan kekuasaan, dan aku juga mulai benar-benar ketakutan karena kini aku tak lagi mampu menjawab dengan tegas bahwa aku benar-benar tak menginginkan kekuasaan, tak lagi aku mampu menjawab dengan lugas bahwa aku benar-benar tak ingin menjadi kepala.
Ul, aku mulai merasa bahwa sekarang kemanfaatan mungkin tak lagi keluar dari setiap tindakan yang aku lakukan, semua berujung pada ambisi, semua berujung pada keinginan untuk menjelekkan orang lain dan menyanjung diri sendiri. Ah, gilanya aku Ul...
Ul, aku kembali mempertanyakan apa selama ini aku usahakan, apa yang selama ini aku anggap sebagai kebaikan, aku anggap sebagai tindakan yang aku lakukan hanya demi kebaikan sekolah, hanya demi kemajuan sekolah, hanya demi pendidikan dan pengembangan anak-anak didik. Aku kembali mempertanyakannya, jangan-jangan semua hanya topeng, hanya tabir yang aku gunakan untuk menutupi maksud sebenarnya, hanya semprotan minyak wangi untuk menutupi busuknya ambisi diri.
Ul, sungguh dalam hal ini aku benar-benar mengharap kemarahanmu, mengharap engkau menceramahiku tentang nilai dan segala keluhuran nurani. Aku benar-benar berharap engkau kembali hadir dan mengingatkanku, menarikku kembali dari arus ambisi yang mulai menenggelamkanku. Telingaku begitu merindu seluruh kata pedasmu saat aku mulai keluar dari jalanku, mulai melenceng dari tujuan awal perbuatan.
Aku merindumu teman, merindu setiap katamu yang menyadarkan ku kembali dari keterlenaan semu, merindu setiap raut kusut dan jutekmu yang membangunkanku kembali dari lelap dan mabuk ambisi dan nafsu, merindu diammu yang memaksaku selalu berpikir apa yang telah aku lakukan, berpikir kesalahan apa yang telah aku lakukan pada diriku, berpikir pengingkaran apa yang telah aku lakukan terhadap nilai dan sikap yang tentu engkau pahami, merindu setiap cara yang kau gunakan untuk menarikku dari lumpur kehinaan, membelokkan langkah salahku menuju arah tujuan, menjagaku dari kesilapan dan kealfaan.
Aku merindumu Ul, merindumu temanku, sahabat jiwaku, detakku, denyutku, jiwaku...
Aku merindumu, merindu setiap tindakanmu untuk menyadarkanku kembali dari kemabukan dan kegilaan ambisi tak sejati.
Sudah bosan aku dengan segala dendam dan kemarahan, aku takut tiadanya kemanfaatan dalam setiap tindakan yang aku lakukan, aku takut bukan kebajikan yang aku ajarkan namun keculasan yang aku tanamkan pada murid-muridku. Aku takut dan aku merindumu karena engkau penawar segala takutku, engkau pembangkit seluruh keberanianku....
Ul, kadang aku berpikir mestikah aku tinggalkan semua agar ku mampu kembali mengendalikan diriku, mestikah aku lepas semua hubungan dan keterkaitanku dengan sekolah agar kembali aku bisa menapaki jalanku, mestikah aku menjadi seperti pengecut yang lari dari masalah yang ada di hadapanku?
Aku tahu Ul, tanpamu mungkin aku butuh waktu untuk mampu kembali pada garisku, tanpamu aku akan membutuhkan lebih banyak energi untuk menemukan kembali semangatku, tanpamu segalanya tentu akan jauh menjadi lebih sulit dan lebih berat bagiku, tanpamu aku bahkan mungkin tidak akan pernah mampu benar-benar mampu bangkit kembali, menemukan arah tujuan yang pernah kita canangkan.
Maka aku merindumu, mengharap hadirmu...hadir dalam jiwaku, hadir dalam ragaku, hadir dalam pikirku, hadir dalam segala wujud yang engkau diperkenankan menyandangnya...agar segalanya menjadi lebih mudah bagiku, agar segalanya menjadi lebih cepat bagiku, agar segalanya menjadi lebih bermakna dan bergelora, agar segalanya kembali pada garis edarku, garis edarmu, garis edar kita...ujung takdir kita, sempurna peran dunia yang telah digariskan bagi kita...

Ul, aku merindumu dalam peran apapun yang engkau mainkan untukku...
aku mencintamu dalam kehadiran apapun yang engkau tampilkan di hadapku...
aku merindumu jiwaku...
aku mencintamu diriku...