Minggu, 07 Juli 2013

Ketika Tak Lagi Mampu Ku Tahankan di Dada

Ul, entah kenapa aku merasa bahwa hari-hari ini aku begitu merindumu, entah mengapa hari-hari ini semakin aku tertekan dengan setiap masalah yang datang rinduku padamu semakin tak tertahankan. Aku benar-benar merasa sendiri saat ini, tak ada tempat untuk sekedar bercerita apalagi mengeluh. Benar bahwa sebaik tempat untuk mengeluh adalah kepada Allah, namun sayang berkali-kali aku mencobanya aku belum juga mampu.
Ul, hingga saat ini aku tetap saja merasa bahwa hanya denganmu aku bisa menumpahkan segala yang ada di diriku, menceritakan segala persoalan yang aku alami, mengurai segala beban yang menghampiriku. Dan dengan itu, aku yakin bahwa sebenarnya aku mengeluh pada Allah, jalanku untuk mengeluh adalah melalui dirimu, karena aku yakin bahwa Allah telah menetapkan engkau sebagai belahan jiwaku.
Ul, baru kali ini aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi segala rindu padamu, tekanannya begitu keras dan aku belum juga menemukan cara untuk mengalirkannya. Aku rindu padamu Ul, semakin malam semakin sunyi semakin keras denyut rinduku, semakin menekan dada dan hatiku, semakin mendesah nafasku mengucap namamu.
Ul, dulu—sebelum aku menceritakan hal-hal yang tak pernah terungakapkan kepada orang lain dan menceritakan pengandaianku kepada Jun—aku biasa bercerita apa saja dengan Jun, menceritakan peristiwa dan kejadian yang sedang aku alami, berbicara tentang berbagai keinginan kita yang belum terwujud, dan ia pun sering bercerita tentang keinginan dan harapan yang dibangunnya, bercerita berbagai hal menarik yang terjadi, berbagai pengalaman dan rencana-rencana. Itu dulu, sebelum segalanya menjadi sedikit kaku, sebelum bias meragukan setiap tindakanku.
Ul, perlahan namun pasti—meskipun itu tidak juga aku sadari hingga ketika Jun mulai mengubah pola komunikasi kami—aku merasakan kenyamanan dan kebebasan yang dulu ku rasakan. Kenyamanan dan kebebasan untuk saling bertukar cerita, saling percaya, saling menguatkan (awalnya aku menganggap ini bagian dari perasaan kami yang menjadi merasakan rasa kehilangan yang sama—kehilangan dirimu--), namun tanpa aku sadari ternyata tumbuh harapanku agar jiwaku kembali menyatu dengan jiwanya. Dan perlahan-lahan aku pun merasakan bahwa banyak hal dari dirimu yang kurasakan dan ku temukan dalam dirinya. Aku mulai meyakini bahwa dalam diri Jun engkau kembali hadir dan mewujud untuk kembali padaku.
Ul, sungguh aku sangat ingin menghilangkannya, tapi bagaimana aku dapat menghilangkannya ketika aku juga tidak pernah memunculkannya, semua berjalan begitu saja, sebagaimana cinta kita juga tumbuh begitu saja.
Ul, aku sadar bahwa saat ini aku benar-benar bias dalam hubunganku dengan Jun. Aku tahu aku menyayanginya sebagai adik iparku, namun tak dapat juga ku pungkiri bahwa aku juga merasakan kehadiranmu dalam dirinya, aku juga merasakan kedamaian saat berbincang biasa dengannya. Dan segalanya menjadi begitu menekan dada saat tak lagi mampu menjalin komunikasi dengannya. Rinduku padamu menjadi begitu menggila.
Ul, aku yakin bahwa dalam hubungan antara dua orang terjadi sebuah hubungan timbal balik. Artinya, ketika landasan komunikasi seseorang berubah maka secara otomatis berubah pula landasan orang kedua. Ketika aku merasakan bias dalam hubunganku dengan Jun, jelas ia pun akan merasakan efek dari ke-bias-anku, ia pun akan menggunakan pola hubungan baru yang—bagi kami mungkin—serasa kaku, tak sebiasa dulu.
Sungguh Ul, saat ini aku menjadi ketakutan sendiri. Takut bahwa apa yang aku lakukan akan membuat Jun semakin menjauhiku, semakin tak mau menjalin komunikasi denganku. Aku khawatir hubungan baik dan akrab yang dulu kami miliki menjadi semakin renggang dan kaku. Aku tidak mau hubungan persaudaraan di antara kami rusak dan berantakan. Dan semakin takut aku semakin biasnya pola hubungan kami.
Ul, sungguh kadang aku berpikir untuk mengatakan padanya bahwa aku merasakan hadirmu dalam dirinya (karena Jun tidak akan percaya kalau aku katakan aku mencintainya—atau bahkan sekedar suka antara laki-laki dan perempuan—karena aku sudah pernah bercerita padanya bahwa aku sangat mencintaimu dan jika aku mesti menikah lag maka aku akan menikah dengan perempuan yang dalam dirinya aku rasakan kehadiranmu. Meski kadang aku juga bertanya sendiri benarkah engkau benar-benar mewujud menyatu jiwa dengan Jun sehingga aku merasakan hadirmu dalam dirinya atau aku mulai menyukainya kemudian aku mengganggapnya sebagai kehadiran dirimu dalam dirinya? Ah entahlah…) dan kemudian mengajaknya untuk menikah denganku.
Ul, dalam prediksiku setidaknya mungkin akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut:
Pertama, Jun mau menikah denganku tentunya dengan syarat-syarat yang mungkin akan diberikannya padaku (dulu ketika bercerita tentang kemungkinan itu, ia juga berkata ya bisa saja aku akan mengatakan ya namun tentunya tidak dengan begitu saja, aku akan memberikan syarat-syarat yang mungkin akan membuat sampeyan mundur teratur).
Kedua, Jun akan menolaknya entah karena aku tidak mau memenuhi syarat yang diajukannya atau karena hal lainnya namun kemudian hubungan kami menjadi seperti semula, sebuah hubungan akrab antara kakak dan adiknya.
Ketiga, Jun akan menolaknya dengan cara tidak memberikan jawaban dan memutuskan semua hal yang terkait denganku, tidak lagi mau berhubungan denganku, tidak lagi mau berbicara denganku, tidak lagi mau berbagi cerita denganku.
Ul, sungguh aku bisa terima dan tidak akan apa-apa jika yang terjadi adalah opsi pertama dan kedua, meskipun mungkin opsi pertama juga tidak akan berjalan semulus paha cherrybell (aku merasa jika memang aku akan menikah dengan Jun mungkin akan ada beberapa hal yang mesti diselesaikan sebelum dilaksanakan, beberapa hal yang aku yakin engkau pasti mengetahui dan sangat memahaminya, beberapa hal yang mungkin juga berakhir tidak sebagaimana mestinya). Aku jelas bisa menerima opsi pertama karena sejak aku meyakini bahwa engkau kini ada dalam dirinya tentu aku ingin menikah dengannya.
Untuk opsi kedua, ini merupakan opsi yang aku harapkan, Jun menolakku dan kami kembali menjadi kakak beradik yang saling mendukung, menjaga, dan akrab. Jadi opsi pertama kini menjadi salah satu keinginanku dan opsi kedua merupakan harapanku… (mungkin karena aku sangat tidak ingin hubungan baik yang selama ini terjadi di antara orang-orang tua menjadi sedikit meregang akibat opsi pertama).
Ul, untuk opsi ketiga terus terang hingga kini aku bahkan tidak sanggup untuk membayangkannya. Bagaimana mungkin aku menjadi orang yang dibenci dan dijauhi oleh orang yang sangat dekat denganmu. Bagaimana mungkin aku sanggup menjadi orang yang dihindari oleh adik yang sangat engkau sayangi. Bagaimana mungkin aku bisa menanggung sakit yang pastinya engkau rasakan ketika ternyata aku sendiri yang menyebabkan adik yang paling engkau banggakan sakit hati akibat tindakanku.
Benar-benar tidak mampu aku membayangkan hal itu Ul, apalagi memikirkannya.
Ul, hingga saat ini—menurutku--itulah alasan paling mendasar mengapa aku tak juga melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan biaskua. Karena dalam pandanganku salah satu cara paling paling untu menyelesaikan biasku adalah dengan menggembalikan posisi dan pola hubungan kami menjadi pola hubungan yang dulu—pola hubungan kakak adik—atau membuat pola hubungan baru yang akan semakin mendekatkan kami.
Ul, selama aku masih merasa mampu untuk menahannya—meskipun akhir-akhir ini aku mulai merasa sangat berat dan sering merasa tak lag mampu untu menahannya lebih lama—aku tidak akan mengatakan ini kepada Jun, sungguh aku malah berharap tidak perlu mengatakannya pada Jun. Aku berharap ia menikah sebelum aku mengatakannya, sebelum aku benar-benar tidak mampu menahannya di dada.
Sungguh Ul aku merasa kekakuan hubungan di antara kami penyebab utamanya adalah ini, bias yang muncul setelah aku bercerita banyak hal terkait rahasia yang selama ini tersimpan (termasuk tentang cinta dan pernikahan). Aku yakin ketika Jun sudah menikah maka perlahan-lahan—kalau tidak segera setelah itu—hubungan kami akan kembali normal sebagaimana sebelumnya. Sungguh kayaknya akan benar-benar tidak akan pernah bisa siap untu menghadapi kemungkinkan ketiga, kemungkinkan untuk dijauhi dan dibenci oleh orang yang sangat dekat denganmu, adik yang sangat engkau sayangi dan banggakan.
Ul, kalau tak pikir-pikir mungkin salah satu yang paling tak butuhkan adalah teman bicara, teman yang dengannya aku bisa ngomong apa saja, teman yang aku tak canggung untuk menceritakan seluruh rahasiaku kepadanya. Dan aku masih saja tetap seperti dulu Ul, aku tidak bisa bercerita kepada semua orang, aku hanya bisa bicara pada satu orang saja, cukup satu orang saja. Satu orang yang bahkan aku rela jika ia menceritakan semua yang tak ceritakan kepadanya ke siapa saja. Satu orang yang menjadi bagian dari jiwa dan hatiku. Dan satu orang itu awakmu Ul.
Kemudian setelah perpindahanmu aku merasakan hal serupa pada Jun sehingga akhirnya ia menjadi the one, menjadi orang—setelahmu—yang aku tidak pernah merasa canggung untuk bercerita, untuk mengungkap apa yang selalu tersembunyi dari orang-orang di sekitarku. Satu orang yang dengannya aku bisa berbagi cerita tanpa merasa malu dan ragu. Aku tidak pernah memilihnya Ul, semua berjalan begitu saja.
Terlebih lagi jika terkait dengan bagaimana mendidik dan membimbing Lana, aku benar-benar butuh  teman—dan seringkali ku rasakan bukan sekedar teman bicara--.
Ul, dulu aku berpikir bahwa seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit aku akan mampu memahami dan membimbing Lana, namun kenyataannya berbeda Ul. Semakin lama aku semakin merasa kewalahan terkait dengan bagaimana mendidik dan membimbing Lana. Semakin hari semakin banyak hal-hal mengejutkan yang dilakukan Lana. Hal-hal yang seringkali membuatku merasa tidak memiliki kemampuan apa-apa, hal-hal yang membuatkan semakin meragukan kemampuanku sendiri untuk mendidik dan membimbing Lana. Hal-hal yang membuatkan bergerak menuju yakin bahwa aku tidak akan mampu mendidik dan membimbing Lana seorang diri. Aku membutuhkan teman untuk menyempurnakan pendidikan dan bimbingan kepada Lana. Aku membutuhkan figurmu (figur ibu) bagi Lana karena aku tidak akan pernah sekalipun mampu menggantikan figurmu bagi Lana.
Ya jelas aku sering juga berpikir bahwa tidak fair untuk menempatkan Jun dalam posisi ini. Tidak fair untuk membebaninya menjadi ‘tempat sampah’ bagi seluruh ceritaku. Apalagi aku sadar bahwa yang punya masalah bukan aku saja, aku sadar Jun pun punya masalah yang mesti dipecahkannya, maka semakin biaslah pola hubungan di antara kami berdua.
Ah, entahlah Ul, yang jelas saat ini aku membutuhkan teman untuk berbagi cerita, berbagi angan dan cita. Sebuah kualitas yang hanya engkau miliki, kemudian aku rasakan juga dalam diri Jun.
Ul, I think I just need a friend—truly friend, truly you—to talk, maka mungkin karena itulah hari-hari ini aku begitu merindumu, bergetar suara dan seluruh tubuhku saat menyebut namamu, dan namamu kembali menyertai tiap penyebutan asma Tuhanku bahkan seringkali lebih banyak dari itu.
Dan semua ceritaku kali inipun adalah jalan bagiku untuk sedikit mengalirkan beban kerinduan yang semakin menekan dadaku,
Ah Ul, mungkin saja jika Jun atau Anip membaca cerita-cerita ini mereka akan kecewa atau bahkan marah kepadaku, tapi aku yakin bahwa seiring perjalanan waktu dan pengalaman hidup serta dengan kejernihan pikir, kecerdasan, dan kedewasaannya, suatu saat mereka akan memahami mengapa aku menjadi segila ini. Meskipun tidak pernah sama dengan memaklumi.

Ul, aku merindumu teman, aku merindumu kekasih, aku merindumu jiwa, aku merindumu isteriku… dan kali ini aku benar-benar merindu mewujudmu…(Semoga Ia memperkenankannya. Amin).
Ul, love you so much as always… see you, emmm..ah… (peluk cium untukmu, selalu)

Jumat, 05 Juli 2013

It's about the Day

Ul, sebenarnya kemarin aku berencana bahwa hari ini aku akan mengajak Lana jalan-jalan ke Purwodadi, menyusuri tempat-tempat yang dulu biasa kita datangi, makan di tempat yang sangat kita sukai, namun meskipun akhirnya aku dan Lana ke Purwodadi, kami tidak jadi makan di Soto Bening Pak Di, aku hanya pergi untuk membeli USB Connector dan belanja di Luwes plus kemudian beli es tawon (kayake kita baru satu kali beli di sana, karena favorit kita Es Teler Pak Doyok).
Ul, kemarin aku berencana bahwa kami akan berangkat pukul 08.30 atau 09.00 kemudian muter-muter di beberapa tempat lalu pulang dan Jum'atan. Namun akhirnya kami baru berangkat pukul 13.30 karena waktu pagi aku masih belum benar-benar mampu mengendalikan diriku--rasane jek mangkel akibat apa yang terjadi kemarin--.
O ya Ul, belum tak critakan ya apa yang terjadi kemarin.
Gini, kemarin critane habis Ashar ada undangan untuk ke makam, biasanya Lana diam saja dan ga kepengin ikut, tapi ga tahu kenapa hari ini tiba-tiba pengin ikut. Awale pas tak bilang ga usah melu, ia mulai ngambek, tapi ketika tak suruh pulang ia pulang. Pas aku dan undangan yang lain mau berangkat, tiba-tiba Lana mendekat lagi dan kembali pengen ikut. Lana mulai mewak-mewek mau nangis, kemudian tak dekati--ia tahu bahwa aku tidak pengin ia ikut--ia malah lari dan mulai menangis. Aku terus mendekatinya kemudian ketika sudah dekat Lana malah nglesot, lalu tak gendong tak bawa pulang. Lana semakin keras nangise karena tahu bahwa ketika ia rewel dan tak gendong itu artinya aku akan memasukkannya ke kamar--beberapa kali memang aku memasukkan Lana ke kamar kemudian pintu tak tutup ketika aku tak lagi bisa mengendalikannya dan aku khawatir aku tidak dapat menahan marahku--. Kemudian Lana tak masukkan ke kamar lalu pintu tak tutup terus berangkat ikut ke makam.
Ul, biasanya ketika Lana tak masukkan ke kamar memang ia akan menangis keras minta keluar sampil kadang nendang pintu. Tapi kemarin yang dilakukan Lana berbeda dari biasanya. Ketika aku pulang dari kondangan, Lana sudah tidak menangis lagi, ia bersama mbak Nani di dapur. Aku tidak berpikir apa-apa karena biasanya ketika Lana tidak pernah ngrusak barang ketika 'tak kasih hukuman' agar berada di dalam kamar.
Ul, ketika kemudian aku masuk kamar aku kaget karena ada yang tidak beres di tampilan laptop, tampilannya seperti tampilan yang tidak memiliki VGA card. Tahu ga Ul yang membuat aku lebih kaget, ternyata posisi harddisk eksternal dan hp modem yang saat itu masuk terhubung dengan laptop tidak di tempat semula, keduanya ada di lantai, padahal asalnya berada di depan dan di atas speaker active, kemudian tak ambil dan ternyata mati. Tak cek lagi dengan cara menghubungkannya dengan arus listrik ternyata arusnya tidak masuk--brarti rusak, pikirku. Lalu aku lihat connector di mini usb hp modem, ternyata kondisinya seperti mau patah. Kemudian tak coba menghidupkan laptop, ternyata tidak bisa hidup, tampilan layarnya tetap sama. Aku curiga jangan-jangan laptop dibanting sehingga harddisk eksternal dan hp modem ikut kebanting dan jatuh ke lantai.
Aduh Ul, rasane kudu ngamuk aku tapi karena aku ga tahu peristiwanya langsung jadi aku masih bisa berpikir agak jernih untuk berpikir bahwa marah dan ngamuk ga ada gunanya. Lalu aku tanya ke Lana yang ada di dapur, Lana mau mbanting laptop ya, 'ya', jawab Lana. Rasane ga karuan, pengen ngamuk ga da gunanya, ga ngamuk mangkel bukan main. Tapi akhire tak biarkan saja, termasuk juga laptop dan modemnya.
Ul, baru setelah aku merasa tenang, aku mulai ngecek kembali kondisinya. Aku perhatikan baik-baik hp modem kemungkinan besar hanya rusak konektor usb ne (itu kesimpulan awalku) dan laptop kayake cuma rusak layar LED nya dan ternyata benar setelah tak coba dengan menggunakan monitor.
Tinggal memastikan apakah hp modem rusak atau hanya konektor usb nya. Akhire tadi pagi aku pinjam konektor usb milik Tolhah karena aku tahu ia punya konektor usb yang sama. Ketika tak coba ternyata arus listriknya bisa masuk, berarti benar dugaanku bahwa hp modem tidak apa-apa hanya konektor usb nya yang rusak.
Akhirnya tadi habis sholat Jum'at aku ngajak Lana ke Purwodadi untuk membeli konektor usb dan sekaligus belanja.
Ul, sungguh kadang aku benar-benar tidak mengerti bagaimana mesti menghadapi Lana. Beberapa hari ini memang Lana tidak seperti biasanya. Beberapa hari ini--terutama setelah sekolah libur.. O ya tahun ini Lana mau naik ke kelas 1 tapi belum sempat tak belikan seragam--Lana maunya ikut ke manapun aku pergi--apalagi kalau pas libur seperti ini mbak Nani kadang datangnya lebih dari jam 09.30 (kadang aku juga mulai agak jengah dengan kedatangan mbak Nani yang menurutku terlalu siang, tapi aku juga ga enak ngomong ke mbak Nani).
Ya Allah Ul, kadang aku ngerasa benar-benar tidak akan mampu untuk mengawal dan membimbing Lana sendirian, aku membutuhkan seseorang untuk bersamaku membimbing Lana, dan aku tahu bahwa seseorang itu awakmu Ul, ibunya. Lana hanya akan bisa berkembang secara maksimal menuju kehebatannya ketika ia kembali merasakan kehadiran ibu dan bapaknya secara lengkap, maka belakangan ini aku sering berharap dan memohon agar engkau kembali diijinkan untuk mewujud dalam nyataku dan Lana, agar engkau mewujud kembali dalam diri seseorang yang kemudian bersamaku kembali bersama-sama mengantarkan Lana menuju kehebatannya.
Sungguh Ul, aku mulai ragu dengan kemampuanku untuk mampu menahan segalanya sendiri--dan kau tahu kan meskipun aku bukan tipe orang yang senang bercerita kepada banyak orang, aku termasuk orang tak tidak pernah merasa mampu untuk menanggung semua sendiri. Makanya aku selalu bercerita kepada segala yang terjadi dan sungguh aku hanya butuh satu orang untuk mengatakan segala ceritaku--.
Ah Ul, aku merindumu, sungguh merindumu dalam segala wujud yang dipilihkan-Nya untuk bersemayam jiwamu.
Love you so much as always...

Selasa, 02 Juli 2013

Lagi pengen cerita ae

Ul, kadang aku ga ngerti apakah yang tak lakukan benar atau salah. Ada beberapa hal yang mungkin aku pun akan mengatakan salah dalam keadaan normal, dalam situasi sebagaimana mestinya, namun hanya karena aku berpikir mungkin inilah resiko paling kecil yang dapat aku tempuh, maka tetap saja itu aku lakukan.
Ul, kadang aku juga ga tahu apakah langkah yang tak ambil untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ku hadapi tepat atau tidak. Aku tahu bahwa beberapa langkah yang tak lakukan mungkin dianggap orang sebagai langkah salah--dalam dalam keadaan yang biasa mungkin aku juga akan mengatakan demikian--.
Ul, aku bangga dengan seluruh kerinduan yang tetap menyala di hatiku, rindu akan segala hal yang terkait dengannya. Aku yakin rindu ini adalah sebuah anugerah dari Allah untukku, sebuah jalan yang pada akhirnya akan membawaku pada jalan hidup dan takdirku. Aku yakin cinta yang kasih yang tertanam dalam hatiku untukmu adalah sebuah keabadian yang dianugerahkan, bukan sebuah pelanggaran yang dilarang. Aku yakin akan kesucian segala bentuk dan wujud cinta yang ada dalam hatiku.
Namun aku juga sadar Ul bahwa aku tetaplah manusia yang masih beraga, manusia yang masih berada dalam alam lahiri. Ada kebutuhan-kebutuhan lahiri dan badani yang tidak dapat ku ingkari. Ada kebutuhan-kebutuhan fisik dan ragawi yang tidak dapat dihilangkan sama sekali. Dan ada kebutuhan-kebutuhan fisik, ragawi, badani, lahiri yang tidak mungkin bisa ku penuhi sendiri, yang untuk memenuhinya aku membutuhkan orang lain--dan tetap saja aku hanya mampu berpikir bahwa orang lain itu adalah dirimu, engkau--.
Ul, ada saat-saat ketika kebutuhan-kebutuhan ini benar-benar menyita fokusku, menuntut pemenuhan yang--mungkin--tak lagi bisa kita lakukan. Namun mengingkari dan bersikap seakan-akan tidak ada kebutuhan ini adalah sebuah kebohongan dan membuatku lumpuh dan tak berdaya. Ada saat-saat di mana kebutuhan seperti ini harus mendapatkan haknya untuk dialirkan.
Dan kau tahu Ul, dalam hal ini--sampai saat ini--aku belum bisa menemukan cara untuk mengendalikannya, aku belum bisa menghilangkannya dengan begitu saja. Yang jelas, ada saat-saat di mana aku mesti mengalirkan hasrat kelelakianku dengan cara-cara yang tak biasa, dengan cara-cara yang dalam kondisi normal aku pun yang menganggapnya sebagai tidak tepat.
Ul, maafkan aku jika apa yang aku lakukan juga salah menurutmu. Aku sadar bahwa dalam beberapa hal apa yang aku lakukan kadang menumbuhkan segala bentuk pikiran tak terkendali. Pikiran yang dikendalikan oleh nafsu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seperti itu.
Ul, terus terang hingga sekarang tak pernah terpikir olehku untuk mengalirkannya dengan orang lain selain dirimu--atau orang yang engkau pilihkan untukku sehingga aku merasakan hadirmu dalam dirinya--. Banyak hal yang terlintas dalam pikiran nafsuku, mulai dari yang paling liar sampai cara yang menurutku paling kecil resikonya--meskipun dalam beberapa kesempatan tetap saja mengganggu pikiran dan nalarku.
Ul, hingga saat ini mungkin yang aku lakukan--dalam bahasa syar'i--termasuk zina mata atau zina lisan. Tidak ada sedikit pun maksud untuk menganggap hal ini sebagai sesuatu yang ringan, tetap ini ini merupakan kesalahan dalam kondisi normal--atau bahkan mungkin dalam kondisi apapun--. Aku juga tidak ingin membela diri atas apa yang selama ini aku lakukan mulai dari bermain imajinasi hingga membaca atau bahkan menonton video dan lainnya.
Ah Ul, kadang aku berpikir mungkin cara paling baik adalah memohon kepada Allah agar dihilangkan seluruh keinginan dan hasratku akan perempuan, biar cinta dan rinduku padamu abadi dalam jiwaku tanpa mesti disertai keinginan-keinginan yang bersifat badani dan ragawi.
Dan malam ini aku berharap kita bertemu dalam alam mimpi dan bawah sadarku.
Ul, mungkin cukup untuk kali ini ya, aku selalu merindumu dalam tiap desah nafasku, aku merindumu dalam aliran yang aku yakin ditetapkan oleh Ia yang Kasihnya melingkupi seluruh semesta raya.
Love you so much as always...