Ul, entah kenapa aku merasa bahwa hari-hari ini aku begitu
merindumu, entah mengapa hari-hari ini semakin aku tertekan dengan setiap
masalah yang datang rinduku padamu semakin tak tertahankan. Aku benar-benar
merasa sendiri saat ini, tak ada tempat untuk sekedar bercerita apalagi
mengeluh. Benar bahwa sebaik tempat untuk mengeluh adalah kepada Allah, namun
sayang berkali-kali aku mencobanya aku belum juga mampu.
Ul, hingga saat ini aku tetap saja merasa bahwa hanya
denganmu aku bisa menumpahkan segala yang ada di diriku, menceritakan segala
persoalan yang aku alami, mengurai segala beban yang menghampiriku. Dan dengan
itu, aku yakin bahwa sebenarnya aku mengeluh pada Allah, jalanku untuk mengeluh
adalah melalui dirimu, karena aku yakin bahwa Allah telah menetapkan engkau
sebagai belahan jiwaku.
Ul, baru kali ini aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa
untuk mengatasi segala rindu padamu, tekanannya begitu keras dan aku belum juga
menemukan cara untuk mengalirkannya. Aku rindu padamu Ul, semakin malam semakin
sunyi semakin keras denyut rinduku, semakin menekan dada dan hatiku, semakin
mendesah nafasku mengucap namamu.
Ul, dulu—sebelum aku menceritakan
hal-hal yang tak pernah terungakapkan kepada orang lain dan menceritakan
pengandaianku kepada Jun—aku biasa bercerita apa saja dengan Jun, menceritakan
peristiwa dan kejadian yang sedang aku alami, berbicara tentang berbagai
keinginan kita yang belum terwujud, dan ia pun sering bercerita tentang
keinginan dan harapan yang dibangunnya, bercerita berbagai hal menarik yang
terjadi, berbagai pengalaman dan rencana-rencana. Itu dulu, sebelum segalanya
menjadi sedikit kaku, sebelum bias meragukan setiap tindakanku.
Ul, perlahan namun pasti—meskipun
itu tidak juga aku sadari hingga ketika Jun mulai mengubah pola komunikasi kami—aku
merasakan kenyamanan dan kebebasan yang dulu ku rasakan. Kenyamanan dan
kebebasan untuk saling bertukar cerita, saling percaya, saling menguatkan
(awalnya aku menganggap ini bagian dari perasaan kami yang menjadi merasakan
rasa kehilangan yang sama—kehilangan dirimu--), namun tanpa aku sadari ternyata
tumbuh harapanku agar jiwaku kembali menyatu dengan jiwanya. Dan perlahan-lahan
aku pun merasakan bahwa banyak hal dari dirimu yang kurasakan dan ku temukan
dalam dirinya. Aku mulai meyakini bahwa dalam diri Jun engkau kembali hadir dan
mewujud untuk kembali padaku.
Ul, sungguh aku sangat ingin
menghilangkannya, tapi bagaimana aku dapat menghilangkannya ketika aku juga
tidak pernah memunculkannya, semua berjalan begitu saja, sebagaimana cinta kita
juga tumbuh begitu saja.
Ul, aku sadar bahwa saat ini aku
benar-benar bias dalam hubunganku dengan Jun. Aku tahu aku menyayanginya
sebagai adik iparku, namun tak dapat juga ku pungkiri bahwa aku juga merasakan
kehadiranmu dalam dirinya, aku juga merasakan kedamaian saat berbincang biasa
dengannya. Dan segalanya menjadi begitu menekan dada saat tak lagi mampu
menjalin komunikasi dengannya. Rinduku padamu menjadi begitu menggila.
Ul, aku yakin bahwa dalam
hubungan antara dua orang terjadi sebuah hubungan timbal balik. Artinya, ketika
landasan komunikasi seseorang berubah maka secara otomatis berubah pula
landasan orang kedua. Ketika aku merasakan bias dalam hubunganku dengan Jun,
jelas ia pun akan merasakan efek dari ke-bias-anku, ia pun akan menggunakan
pola hubungan baru yang—bagi kami mungkin—serasa kaku, tak sebiasa dulu.
Sungguh Ul, saat ini aku
menjadi ketakutan sendiri. Takut bahwa apa yang aku lakukan akan membuat Jun
semakin menjauhiku, semakin tak mau menjalin komunikasi denganku. Aku khawatir
hubungan baik dan akrab yang dulu kami miliki menjadi semakin renggang dan
kaku. Aku tidak mau hubungan persaudaraan di antara kami rusak dan berantakan.
Dan semakin takut aku semakin biasnya pola hubungan kami.
Ul, sungguh kadang aku
berpikir untuk mengatakan padanya bahwa aku merasakan hadirmu dalam dirinya
(karena Jun tidak akan percaya kalau aku katakan aku mencintainya—atau bahkan
sekedar suka antara laki-laki dan perempuan—karena aku sudah pernah bercerita
padanya bahwa aku sangat mencintaimu dan jika aku mesti menikah lag maka aku
akan menikah dengan perempuan yang dalam dirinya aku rasakan kehadiranmu. Meski
kadang aku juga bertanya sendiri benarkah engkau benar-benar mewujud menyatu
jiwa dengan Jun sehingga aku merasakan hadirmu dalam dirinya atau aku mulai
menyukainya kemudian aku mengganggapnya sebagai kehadiran dirimu dalam dirinya?
Ah entahlah…) dan kemudian mengajaknya untuk menikah denganku.
Ul, dalam prediksiku
setidaknya mungkin akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut:
Pertama, Jun mau menikah denganku
tentunya dengan syarat-syarat yang mungkin akan diberikannya padaku (dulu
ketika bercerita tentang kemungkinan itu, ia juga berkata ya bisa saja aku akan
mengatakan ya namun tentunya tidak dengan begitu saja, aku akan memberikan
syarat-syarat yang mungkin akan membuat sampeyan mundur teratur).
Kedua, Jun akan menolaknya
entah karena aku tidak mau memenuhi syarat yang diajukannya atau karena hal
lainnya namun kemudian hubungan kami menjadi seperti semula, sebuah hubungan
akrab antara kakak dan adiknya.
Ketiga, Jun akan menolaknya
dengan cara tidak memberikan jawaban dan memutuskan semua hal yang terkait
denganku, tidak lagi mau berhubungan denganku, tidak lagi mau berbicara
denganku, tidak lagi mau berbagi cerita denganku.
Ul, sungguh aku bisa terima
dan tidak akan apa-apa jika yang terjadi adalah opsi pertama dan kedua,
meskipun mungkin opsi pertama juga tidak akan berjalan semulus paha cherrybell
(aku merasa jika memang aku akan menikah dengan Jun mungkin akan ada beberapa
hal yang mesti diselesaikan sebelum dilaksanakan, beberapa hal yang aku yakin
engkau pasti mengetahui dan sangat memahaminya, beberapa hal yang mungkin juga
berakhir tidak sebagaimana mestinya). Aku jelas bisa menerima opsi pertama
karena sejak aku meyakini bahwa engkau kini ada dalam dirinya tentu aku ingin
menikah dengannya.
Untuk opsi kedua, ini
merupakan opsi yang aku harapkan, Jun menolakku dan kami kembali menjadi kakak
beradik yang saling mendukung, menjaga, dan akrab. Jadi opsi pertama kini
menjadi salah satu keinginanku dan opsi kedua merupakan harapanku… (mungkin
karena aku sangat tidak ingin hubungan baik yang selama ini terjadi di antara
orang-orang tua menjadi sedikit meregang akibat opsi pertama).
Ul, untuk opsi ketiga terus
terang hingga kini aku bahkan tidak sanggup untuk membayangkannya. Bagaimana
mungkin aku menjadi orang yang dibenci dan dijauhi oleh orang yang sangat dekat
denganmu. Bagaimana mungkin aku sanggup menjadi orang yang dihindari oleh adik
yang sangat engkau sayangi. Bagaimana mungkin aku bisa menanggung sakit yang
pastinya engkau rasakan ketika ternyata aku sendiri yang menyebabkan adik yang
paling engkau banggakan sakit hati akibat tindakanku.
Benar-benar tidak mampu aku
membayangkan hal itu Ul, apalagi memikirkannya.
Ul, hingga saat
ini—menurutku--itulah alasan paling mendasar mengapa aku tak juga melakukan
langkah-langkah untuk menyelesaikan biaskua. Karena dalam pandanganku salah
satu cara paling paling untu menyelesaikan biasku adalah dengan menggembalikan
posisi dan pola hubungan kami menjadi pola hubungan yang dulu—pola hubungan
kakak adik—atau membuat pola hubungan baru yang akan semakin mendekatkan kami.
Ul, selama aku masih merasa mampu
untuk menahannya—meskipun akhir-akhir ini aku mulai merasa sangat berat dan
sering merasa tak lag mampu untu menahannya lebih lama—aku tidak akan
mengatakan ini kepada Jun, sungguh aku malah berharap tidak perlu mengatakannya
pada Jun. Aku berharap ia menikah sebelum aku mengatakannya, sebelum aku
benar-benar tidak mampu menahannya di dada.
Sungguh Ul aku merasa kekakuan
hubungan di antara kami penyebab utamanya adalah ini, bias yang muncul setelah
aku bercerita banyak hal terkait rahasia yang selama ini tersimpan (termasuk
tentang cinta dan pernikahan). Aku yakin ketika Jun sudah menikah maka
perlahan-lahan—kalau tidak segera setelah itu—hubungan kami akan kembali normal
sebagaimana sebelumnya. Sungguh kayaknya akan benar-benar tidak akan pernah
bisa siap untu menghadapi kemungkinkan ketiga, kemungkinkan untuk dijauhi dan
dibenci oleh orang yang sangat dekat denganmu, adik yang sangat engkau sayangi
dan banggakan.
Ul, kalau tak pikir-pikir mungkin
salah satu yang paling tak butuhkan adalah teman bicara, teman yang dengannya
aku bisa ngomong apa saja, teman yang aku tak canggung untuk menceritakan
seluruh rahasiaku kepadanya. Dan aku masih saja tetap seperti dulu Ul, aku
tidak bisa bercerita kepada semua orang, aku hanya bisa bicara pada satu orang
saja, cukup satu orang saja. Satu orang yang bahkan aku rela jika ia
menceritakan semua yang tak ceritakan kepadanya ke siapa saja. Satu orang yang
menjadi bagian dari jiwa dan hatiku. Dan satu orang itu awakmu Ul.
Kemudian setelah perpindahanmu
aku merasakan hal serupa pada Jun sehingga akhirnya ia menjadi the one, menjadi
orang—setelahmu—yang aku tidak pernah merasa canggung untuk bercerita, untuk
mengungkap apa yang selalu tersembunyi dari orang-orang di sekitarku. Satu
orang yang dengannya aku bisa berbagi cerita tanpa merasa malu dan ragu. Aku
tidak pernah memilihnya Ul, semua berjalan begitu saja.
Terlebih lagi jika terkait dengan
bagaimana mendidik dan membimbing Lana, aku benar-benar butuh teman—dan seringkali ku rasakan bukan sekedar
teman bicara--.
Ul, dulu aku berpikir bahwa
seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit aku akan mampu memahami dan
membimbing Lana, namun kenyataannya berbeda Ul. Semakin lama aku semakin merasa
kewalahan terkait dengan bagaimana mendidik dan membimbing Lana. Semakin hari
semakin banyak hal-hal mengejutkan yang dilakukan Lana. Hal-hal yang seringkali
membuatku merasa tidak memiliki kemampuan apa-apa, hal-hal yang membuatkan
semakin meragukan kemampuanku sendiri untuk mendidik dan membimbing Lana.
Hal-hal yang membuatkan bergerak menuju yakin bahwa aku tidak akan mampu
mendidik dan membimbing Lana seorang diri. Aku membutuhkan teman untuk
menyempurnakan pendidikan dan bimbingan kepada Lana. Aku membutuhkan figurmu (figur
ibu) bagi Lana karena aku tidak akan pernah sekalipun mampu menggantikan figurmu bagi Lana.
Ya jelas aku sering juga berpikir
bahwa tidak fair untuk menempatkan Jun dalam posisi ini. Tidak fair untuk
membebaninya menjadi ‘tempat sampah’ bagi seluruh ceritaku. Apalagi aku sadar
bahwa yang punya masalah bukan aku saja, aku sadar Jun pun punya masalah yang
mesti dipecahkannya, maka semakin biaslah pola hubungan di antara kami berdua.
Ah, entahlah Ul, yang jelas saat
ini aku membutuhkan teman untuk berbagi cerita, berbagi angan dan cita. Sebuah
kualitas yang hanya engkau miliki, kemudian aku rasakan juga dalam diri Jun.
Ul, I think I just need a friend—truly
friend, truly you—to talk, maka mungkin karena itulah hari-hari ini aku begitu
merindumu, bergetar suara dan seluruh tubuhku saat menyebut namamu, dan namamu
kembali menyertai tiap penyebutan asma Tuhanku bahkan seringkali lebih banyak
dari itu.
Dan semua ceritaku kali inipun
adalah jalan bagiku untuk sedikit mengalirkan beban kerinduan yang semakin
menekan dadaku,
Ah Ul, mungkin saja jika Jun atau Anip membaca cerita-cerita ini mereka akan kecewa atau bahkan marah kepadaku, tapi aku yakin bahwa seiring perjalanan waktu dan pengalaman hidup serta dengan kejernihan pikir, kecerdasan, dan kedewasaannya, suatu saat mereka akan memahami mengapa aku menjadi segila ini. Meskipun tidak pernah sama dengan memaklumi.
Ah Ul, mungkin saja jika Jun atau Anip membaca cerita-cerita ini mereka akan kecewa atau bahkan marah kepadaku, tapi aku yakin bahwa seiring perjalanan waktu dan pengalaman hidup serta dengan kejernihan pikir, kecerdasan, dan kedewasaannya, suatu saat mereka akan memahami mengapa aku menjadi segila ini. Meskipun tidak pernah sama dengan memaklumi.
Ul, aku merindumu teman, aku
merindumu kekasih, aku merindumu jiwa, aku merindumu isteriku… dan kali ini aku
benar-benar merindu mewujudmu…(Semoga Ia memperkenankannya. Amin).
Ul, love you so much as always…
see you, emmm..ah… (peluk cium untukmu, selalu)