Selasa, 11 Juni 2013

it's about Lana


Ul, kadang aku benar-benar khawatir dengan Lana. Kadang aku benar-benar takut tidak mampu memberi pendidikan dengan baik untuk Lana, sebuah pendidikan yang memberdayakan, sebuah pendidikan yang membuatnya benar-benar menjadi dirinya sendiri, sebuah pendidikan yang membuat perkembangan diri dan potensinya tumbuh dan berkembang secara maksimal. Kadang aku benar-benar takut karena hingga sekarang pun aku merasa belum mampu menemukan cara yang paling tepat untuk mendekati hatinya.
Ul, meski aku tahu bahwa Lana bukan aku, bukan kamu, bukan kita, namun beberapa bahkan seringkali aku melihat sifat-sifat kita ada dalam dirinya, sifat-sifat yang selama ini kita tahu dan mungkin membuat beberapa orang tidak mengerti dengan kita. Terlalu sering aku tidak mampu mengetahui apa yang sedang terjadi karena Lana juga terlalu sering tidak mau mengatakan masalah yang sedang dialami. Ia lebih memilih untuk menyimpan masalahnya sendiri, tidak mengatakan pada siapapun apalagi padaku, namun kadang-kadang—mungkin ketika Lana merasa berat dengan apa yang terjadi—tiba-tiba ia marah tak jelas, diam atau bahkan menangis tanpa pernah mengatakan mengapa ia seperti itu.
Ul, sungguh aku juga ga ngerti mengapa demikian. Apakah yang selama ini aku ambil dalam pola komunikasiku dengan Lana salah atau bagaimana? Kadang aku merasa bahwa selembut apapun aku berusaha mendekati Lana agar ia mau berbicara denganku ketika terjadi masalah, tetap saja aku merasa gagal karena aku merasakan penolakan dari Lana untuk bercerita. Aku kadang merasa bahwa Lana memandangku sebagai seseorang yang tidak boleh tahu kalau ia punya masalah, seseorang yang hanya boleh mengetahui sesuatu tentang apa yang sudah ia lakukan dan berhasil. Bahkan ketika Lana bermain dengan teman-temannya kemudian ada salah satu temannya atau bahkan ia sendiri yang nangis pun, Lana selalu menjawab tak ada apa-apa ketika aku bertanya ada apa?.
Ul, apakah yang sekarang terjadi merupakan efek dari pembagian peran yang pernah kita bicarakan dulu? Efek dari pembagian peran bahwa dalam sebuah rumah harus ada seseorang yang ditakuti ketika anggota keluarga (baca; anak) melakukan kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hendak kita bangun di rumah kita, selain tentu saja harus ada seseorang lainnya yang akan menjadi tempat mengadu, tempat mengeluh, tempat berbicara ketika anak kita mengalami masalah, menghadapi persoalan. Dan dulu kita sepakat bahwa aku mengambil peran sebagai orang yang pertama dan engkau menjadi orang yang kedua. Ah, entahlah Ul, aku juga ga ngerti.
Ul, apa yang mestinya dapat aku lakukan agar aku bisa membuat Lana benar-benar nyaman untuk bersamaku. Merasa nyaman untuk berbicara dan menceritakan segala sesuatu yang terjadi, tidak merasa takut ketika ia melakukan kesalahan kemudian menceritakan kesalahannya. Merasa nyaman untuk bercerita tentang apa yang terjadi di sekolahnya, merasa nyaman untuk bercerita tentang apa yang tidak bisa ia lakukan di sekolah dan TPQ.
Ul, aku kadang juga merasa bingung bagaimana mengajarkan kemandirian pada Lana, mengingat ketergantungan Lana dengan mbak Nani luar biasa. Aku sadar bahwa aku tidak bisa menyalahkan mbak Nani. Apa yang dilakukan mbak Nani kepada Lana tidak lebih dari apa yang mesti dilakukan oleh seorang ‘emban’ kepada momongannya. Aku tahu mbak Nani tidak akan pernah marah kepada Lana, mbak Nani tidak akan pernah membentak Lana, mbak Nani akan cenderung menuruti apa mau Lana selama menurut mbak Nani permintaan Lana bukan hal-hal yang buruk. Makanya sampai sekarang, jika bersama mbak Nani Lana tetap saja makan minta disuapin, jajan selalu diturutin (meskipun masih tetap dalam kategori wajar, menurutku), sekolah masih minta ditemenin (kalau tidak ada mbak Nani belum juga mau berangkat).
Ul, bukan berarti kemudian Lana tidak berkembang. Beberapa bulan ini meski mbak Nani belum datang, Lana sudah bisa tak tinggal berangkat ke sekolah (ya mbak Nani seperti itulah kadang datangnya agar terlambat, kadang jam 7 lebih mbak Nani belum datang padahal aku harus ngajar pagi, dan kamu tahu kan aku paling tidak bisa ngomong masalah ini ke mbak Nani, karena—seperti yang pernah kita bicarakan—kita yang butuh mbak Nani, kita yang butuh bantuannya maka kita akan coba mengerti posisinya—tentu saja dalam batas-batas yang masih dapat kita terima).
Kau tahu Ul, untuk urusan mandi dan makan, ketika Lana mesti mandi denganku saat pagi sebelum sekolah—meskipun tetap saja ia berusaha untuk mengulur waktu (kayake rasa malas mandi yang dulu pernah kita alami menurun pada Lana, sehingga cukup susah untuk nyuruh Lana mandi terutama pagi)—Lana bisa mandi dengan cepat, berbeda dengan mandi sore ketika mbak Nani yang mandiin Lana, ada saja alasan untuk mengulurnya, entah makan dulu, entah apa dulu, padahal sudah menjelang jam 4 dan ia mesti ke TPQ. Untuk urusan makan juga tidak jauh beda, ketika sarapan Lana akan makan sendiri dengan lahap—asal apa yang ia inginkan dituruti (misal jika pengen sarapan mie yang dikinkan mie, pengen nasi goreng dibuatkan nasi goreng, pengen lontong dibelikan lontong), sedang ketika mesti makan bareng mbak Nani, masih saja mbak Nani harus mengikutinya kemana –mana dan mesti disuapin.
Ul, terus terang kadang aku masih mempertanyakan benar apa salah ya aku memasukkan Lana ke TK di pagi hari kemudian pada sore hari mesti berangkat lagi ke TPQ. Kadang aku merasa Lana sendiri kadang ogah-ogahan untuk berangkat ke TK maupun TPQ. Tapi aku juga tidak tahu apa yang mesti aku lakukan jika aku tidak memasukkan Lana pada TK dan TPQ, Lana tidak mau belajar denganku (itu juga sering membuatku bingung, apakah Lana tidak mau belajar denganku karena aku tidak memiliki cara mengajar anak dengan menarik ataukah posisinya sebagai orang pertama seperti yang pernah kita sepakati dulu?).
Ya mbak Nani juga ngajari Lana membaca dan menulis, Cuma yang diajarkan mbak Nani membaca dan menulis latin, sedang arabnya tidak. Sampai sekarang pun sebenarnya aku masih meragukan efektifitas belajar Lana di TK dan TPQ. Mungkin di TK masih lebih baik karena sekarang Lana sudah mulai bisa menulis dan mengenal huruf, meskipun membacanya belum bisa (dan tak pikir itu tidak apa-apa, dulu saja kita baru diajari nulis dan membaca pada kelas 1 MI), namun yang kadang membuatku benar-benar sedih adalah sampai sekarang Lana belum pernah mau mengaji dengan gurunya di TPQ, jadi dalam satu tahun ini satu jilidpun belum ada yang ia selesaikan. Pernah sekali waktu yang menyusul ke TPQ dan meminta mbak Nani pulang dulu. Akibatnya malah Lana ngangis keras sekali di TPQ, setelah itu aku tidak lagi mencoba untuk melakukannya (sebenarnya aku juga ga enak dengan mbak Nani karena tiap hari ia mesti pulang menjelang magrib. TPQ kadang selesainya jam 5.20 sampai rumah jam 5.30 padahal sekarang magrib jam 5.35).
Ul, kadang aku berpikir bahwa aku tidak akan bisa mendidik Lana dengan baik kalo masih seperti ini. Dan jika seperti ini terus maka aku membutuhkan seseorang yang mau membantuku untuk mendidik Lana, seseorang yang akan mengambil peran sebagai orang kedua di rumah kita, dan itu jelas bukan mbak Nani, dan itu juga jelas bukan seorang guru sekolah, bukan seorang guru mata pelajaran, seseorang yang mau mengambil peranmu sebagai orang kedua di rumah kita. Seseorang yang dengannya Lana bisa tersentuh hatinya, seseorang yang dengannya Lana bisa bercerita apa saja, seseorang yang dengannya Lana mau merasa nyaman untuk berbagi personalan.
Ul, aku tidak hendak mengatakan bahwa aku akan menikah lagi, bagiku saat ini menikah atau tidak itu bukan masalah. Urusan pribadiku hari ini tidak terlalu penting lagi. Yang jelas mungkin jika aku tidak mampu menjadi orang pertama sekaligus orang kedua di rumah kita bagi Lana, maka jelas aku butuh seseorang untuk untuk mengambil peranmu sebagai orang kedua di rumah bagi Lana, seseorang yang dengan rela mau mengambil peran itu, tidak masalah laki-laki ataupun perempuan.
Dan kalaupun aku mesti menikah lagi, maka aku pasti akan menikahi perempuan yang di dalam dirinya aku merasakah kehadiranmu, aku pasti akan menikahi perempuan yang aku rasakan detakmu dalam denyutnya, aku pasti akan menikahi perempuan yang mampu menyentuh hatiku dengan sentuhanmu.
Ul, aku hanya berharap bahwa aku segera menemukan cara mendidik Lana dengan tepat. Mendidik bukan sekedar menyekolahkan, mendidik bukan sekedar mengajarkan. Lana adalah matahari bagi kelam jiwa kita, sinar bagi kedua mata kita, detak yang berasal dari denyut kita, dan ia mesti lebih hebat dari kita.
Ah Ul, mungkin yang mampu aku lakukan sekarang barulah mengalirkan doa-doa untuk Lana, mengalirkan harapan-harapan dalam setiap harap setiap habis shalat. Kadang aku juga merasa benar-benar seperti tak lagi mampu menahan beban ini sehingga kadang aku juga merasakan begitu butuh seseorang untuk sekedar bercerita, dan kau tahu aku masih saja seperti dulu, tidak bisa bercerita apapun tentang segala masalahku selain kepadamu…
Ah, wis disik ya, sudah subuh ini, kapan-kapan aku pasti aku menulis dan bercerita lagi...
Love you so much as always. Aku mencintaimu sebagaimana kayu mencintai api yang menjadikannya abu.
Aku merindumu dalam tiap jengkal langkahku, dalam tiap tarik nafasku, dalam tiap tetes darahku…
Aku mencintai dan merindumu, semoga menjadi wujud syukurku atas anugerah keabadian cinta rindu dalam jiwaku dari Tuhanku….