Ul, kadang aku benar-benar khawatir
dengan Lana. Kadang aku benar-benar takut tidak mampu memberi
pendidikan dengan baik untuk Lana, sebuah pendidikan yang
memberdayakan, sebuah pendidikan yang membuatnya benar-benar menjadi
dirinya sendiri, sebuah pendidikan yang membuat perkembangan diri dan
potensinya tumbuh dan berkembang secara maksimal. Kadang aku
benar-benar takut karena hingga sekarang pun aku merasa belum mampu
menemukan cara yang paling tepat untuk mendekati hatinya.
Ul, meski aku tahu bahwa Lana bukan
aku, bukan kamu, bukan kita, namun beberapa bahkan seringkali aku
melihat sifat-sifat kita ada dalam dirinya, sifat-sifat yang selama
ini kita tahu dan mungkin membuat beberapa orang tidak mengerti
dengan kita. Terlalu sering aku tidak mampu mengetahui apa yang
sedang terjadi karena Lana juga terlalu sering tidak mau mengatakan
masalah yang sedang dialami. Ia lebih memilih untuk menyimpan
masalahnya sendiri, tidak mengatakan pada siapapun apalagi padaku,
namun kadang-kadang—mungkin ketika Lana merasa berat dengan apa
yang terjadi—tiba-tiba ia marah tak jelas, diam atau bahkan
menangis tanpa pernah mengatakan mengapa ia seperti itu.
Ul, sungguh aku juga ga ngerti mengapa
demikian. Apakah yang selama ini aku ambil dalam pola komunikasiku
dengan Lana salah atau bagaimana? Kadang aku merasa bahwa selembut
apapun aku berusaha mendekati Lana agar ia mau berbicara denganku
ketika terjadi masalah, tetap saja aku merasa gagal karena aku
merasakan penolakan dari Lana untuk bercerita. Aku kadang merasa
bahwa Lana memandangku sebagai seseorang yang tidak boleh tahu kalau
ia punya masalah, seseorang yang hanya boleh mengetahui sesuatu
tentang apa yang sudah ia lakukan dan berhasil. Bahkan ketika Lana
bermain dengan teman-temannya kemudian ada salah satu temannya atau
bahkan ia sendiri yang nangis pun, Lana selalu menjawab tak ada
apa-apa ketika aku bertanya ada apa?.
Ul, apakah yang sekarang terjadi
merupakan efek dari pembagian peran yang pernah kita bicarakan dulu?
Efek dari pembagian peran bahwa dalam sebuah rumah harus ada
seseorang yang ditakuti ketika anggota keluarga (baca; anak)
melakukan kesalahan, melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
norma-norma yang hendak kita bangun di rumah kita, selain tentu saja
harus ada seseorang lainnya yang akan menjadi tempat mengadu, tempat
mengeluh, tempat berbicara ketika anak kita mengalami masalah,
menghadapi persoalan. Dan dulu kita sepakat bahwa aku mengambil peran
sebagai orang yang pertama dan engkau menjadi orang yang kedua. Ah,
entahlah Ul, aku juga ga ngerti.
Ul, apa yang mestinya dapat aku lakukan
agar aku bisa membuat Lana benar-benar nyaman untuk bersamaku. Merasa
nyaman untuk berbicara dan menceritakan segala sesuatu yang terjadi,
tidak merasa takut ketika ia melakukan kesalahan kemudian
menceritakan kesalahannya. Merasa nyaman untuk bercerita tentang apa
yang terjadi di sekolahnya, merasa nyaman untuk bercerita tentang apa
yang tidak bisa ia lakukan di sekolah dan TPQ.
Ul, aku kadang juga merasa bingung
bagaimana mengajarkan kemandirian pada Lana, mengingat ketergantungan
Lana dengan mbak Nani luar biasa. Aku sadar bahwa aku tidak bisa
menyalahkan mbak Nani. Apa yang dilakukan mbak Nani kepada Lana tidak
lebih dari apa yang mesti dilakukan oleh seorang ‘emban’ kepada
momongannya. Aku tahu mbak Nani tidak akan pernah marah kepada Lana,
mbak Nani tidak akan pernah membentak Lana, mbak Nani akan cenderung
menuruti apa mau Lana selama menurut mbak Nani permintaan Lana bukan
hal-hal yang buruk. Makanya sampai sekarang, jika bersama mbak Nani
Lana tetap saja makan minta disuapin, jajan selalu diturutin
(meskipun masih tetap dalam kategori wajar, menurutku), sekolah masih
minta ditemenin (kalau tidak ada mbak Nani belum juga mau berangkat).
Ul, bukan berarti kemudian Lana tidak
berkembang. Beberapa bulan ini meski mbak Nani belum datang, Lana
sudah bisa tak tinggal berangkat ke sekolah (ya mbak Nani seperti
itulah kadang datangnya agar terlambat, kadang jam 7 lebih mbak Nani
belum datang padahal aku harus ngajar pagi, dan kamu tahu kan aku
paling tidak bisa ngomong masalah ini ke mbak Nani, karena—seperti
yang pernah kita bicarakan—kita yang butuh mbak Nani, kita yang
butuh bantuannya maka kita akan coba mengerti posisinya—tentu saja
dalam batas-batas yang masih dapat kita terima).
Kau tahu Ul, untuk urusan mandi dan
makan, ketika Lana mesti mandi denganku saat pagi sebelum
sekolah—meskipun tetap saja ia berusaha untuk mengulur waktu
(kayake rasa malas mandi yang dulu pernah kita alami menurun pada
Lana, sehingga cukup susah untuk nyuruh Lana mandi terutama
pagi)—Lana bisa mandi dengan cepat, berbeda dengan mandi sore
ketika mbak Nani yang mandiin Lana, ada saja alasan untuk
mengulurnya, entah makan dulu, entah apa dulu, padahal sudah
menjelang jam 4 dan ia mesti ke TPQ. Untuk urusan makan juga tidak
jauh beda, ketika sarapan Lana akan makan sendiri dengan lahap—asal
apa yang ia inginkan dituruti (misal jika pengen sarapan mie yang
dikinkan mie, pengen nasi goreng dibuatkan nasi goreng, pengen
lontong dibelikan lontong), sedang ketika mesti makan bareng mbak
Nani, masih saja mbak Nani harus mengikutinya kemana –mana dan
mesti disuapin.
Ul, terus terang kadang aku masih
mempertanyakan benar apa salah ya aku memasukkan Lana ke TK di pagi
hari kemudian pada sore hari mesti berangkat lagi ke TPQ. Kadang aku
merasa Lana sendiri kadang ogah-ogahan untuk berangkat ke TK maupun
TPQ. Tapi aku juga tidak tahu apa yang mesti aku lakukan jika aku
tidak memasukkan Lana pada TK dan TPQ, Lana tidak mau belajar
denganku (itu juga sering membuatku bingung, apakah Lana tidak mau
belajar denganku karena aku tidak memiliki cara mengajar anak dengan
menarik ataukah posisinya sebagai orang pertama seperti yang pernah
kita sepakati dulu?).
Ya mbak Nani juga ngajari Lana membaca
dan menulis, Cuma yang diajarkan mbak Nani membaca dan menulis latin,
sedang arabnya tidak. Sampai sekarang pun sebenarnya aku masih
meragukan efektifitas belajar Lana di TK dan TPQ. Mungkin di TK masih
lebih baik karena sekarang Lana sudah mulai bisa menulis dan mengenal
huruf, meskipun membacanya belum bisa (dan tak pikir itu tidak
apa-apa, dulu saja kita baru diajari nulis dan membaca pada kelas 1
MI), namun yang kadang membuatku benar-benar sedih adalah sampai
sekarang Lana belum pernah mau mengaji dengan gurunya di TPQ, jadi
dalam satu tahun ini satu jilidpun belum ada yang ia selesaikan.
Pernah sekali waktu yang menyusul ke TPQ dan meminta mbak Nani pulang
dulu. Akibatnya malah Lana ngangis keras sekali di TPQ, setelah itu
aku tidak lagi mencoba untuk melakukannya (sebenarnya aku juga ga
enak dengan mbak Nani karena tiap hari ia mesti pulang menjelang
magrib. TPQ kadang selesainya jam 5.20 sampai rumah jam 5.30 padahal
sekarang magrib jam 5.35).
Ul, kadang aku berpikir bahwa aku tidak
akan bisa mendidik Lana dengan baik kalo masih seperti ini. Dan jika
seperti ini terus maka aku membutuhkan seseorang yang mau membantuku
untuk mendidik Lana, seseorang yang akan mengambil peran sebagai
orang kedua di rumah kita, dan itu jelas bukan mbak Nani, dan itu
juga jelas bukan seorang guru sekolah, bukan seorang guru mata
pelajaran, seseorang yang mau mengambil peranmu sebagai orang kedua
di rumah kita. Seseorang yang dengannya Lana bisa tersentuh hatinya,
seseorang yang dengannya Lana bisa bercerita apa saja, seseorang yang
dengannya Lana mau merasa nyaman untuk berbagi personalan.
Ul, aku tidak hendak mengatakan bahwa
aku akan menikah lagi, bagiku saat ini menikah atau tidak itu bukan
masalah. Urusan pribadiku hari ini tidak terlalu penting lagi. Yang
jelas mungkin jika aku tidak mampu menjadi orang pertama sekaligus
orang kedua di rumah kita bagi Lana, maka jelas aku butuh seseorang
untuk untuk mengambil peranmu sebagai orang kedua di rumah bagi Lana,
seseorang yang dengan rela mau mengambil peran itu, tidak masalah
laki-laki ataupun perempuan.
Dan kalaupun aku mesti menikah lagi,
maka aku pasti akan menikahi perempuan yang di dalam dirinya aku
merasakah kehadiranmu, aku pasti akan menikahi perempuan yang aku
rasakan detakmu dalam denyutnya, aku pasti akan menikahi perempuan
yang mampu menyentuh hatiku dengan sentuhanmu.
Ul, aku hanya berharap bahwa aku segera
menemukan cara mendidik Lana dengan tepat. Mendidik bukan sekedar
menyekolahkan, mendidik bukan sekedar mengajarkan. Lana adalah
matahari bagi kelam jiwa kita, sinar bagi kedua mata kita, detak yang
berasal dari denyut kita, dan ia mesti lebih hebat dari kita.
Ah Ul, mungkin yang mampu aku lakukan
sekarang barulah mengalirkan doa-doa untuk Lana, mengalirkan
harapan-harapan dalam setiap harap setiap habis shalat. Kadang aku
juga merasa benar-benar seperti tak lagi mampu menahan beban ini
sehingga kadang aku juga merasakan begitu butuh seseorang untuk
sekedar bercerita, dan kau tahu aku masih saja seperti dulu, tidak
bisa bercerita apapun tentang segala masalahku selain kepadamu…
Ah, wis disik ya, sudah subuh ini,
kapan-kapan aku pasti aku menulis dan bercerita lagi...
Love you so much as always. Aku
mencintaimu sebagaimana kayu mencintai api yang menjadikannya abu.
Aku merindumu dalam tiap jengkal
langkahku, dalam tiap tarik nafasku, dalam tiap tetes darahku…
Aku mencintai dan merindumu, semoga
menjadi wujud syukurku atas anugerah keabadian cinta rindu dalam
jiwaku dari Tuhanku….