Minggu, 21 April 2013

Cerita tentang Ujian yang Menjengkelkan

Hai Ul, semoga engkau senantiasa berlimpah kerahmatan dan kedamaian. Maaf ya jika hari kehadiranmu tahun ini aku peringati dalam diam, dalam sunyi, dalam sendiri.
Ini April, bulan bahagiaku karena inilah bulan engkau hadir lalu menyentuh hatiku dan abadi dalam jiwaku. Ini April, bulan yang beberapa tahun ini menjengkelkanku karena Ujian bagi anak-anak sekolah hanya main-main dan menghancurkan segala sikap yang mestinya dibangun dengan mereka.
Kau tahu Ul, dari dulu aku memang tidak pernah suka dengan sistem Ujian Sekolah berstandard seperti sekarang ini. Selalu saja jalan pintas yang terpikir di kepala sebagian besar pengelola pendidikan (kepala sekolah dan guru). Aku ga tahu apakah sikapku ini hanya karena aku tidak bisa melihat segala resiko yang jauh lebih besar bagi anak sehingga mereka memutuskan untuk berlaku instan dalam mensikapi Ujian ataukah para pengelola pendidikan ini hanya memikirkan kebesaran nama tanpa makna.
Dulu aku sering bercerita padamu tentang betapa ngeri kondisi pendidikan dengan Ujiannya, betapa hampir semua melakukan segala hal hanya agar mampu meloloskan peserta didiknya dari prestasi semu bernama Ujian Nasional. Dulu aku juga sering meminta pendapatmu tentang bagaimana mensikapi hal ini, bagaimana strategi yang dapat dilakukan agar pada suatu titik akhirnya siswa benar-benar merasakan kembali ujian, benar-benar merasakan kembali kebahagiaan dan kebanggaan saat mereka mengetahui bahwa mereka berhasil melalui Ujian dan dinyatakan lulus dalam pembelajarannya.
Ah...Ul tiga tahun ini aku tak lagi bisa berpikir seperti itu, tiga tahun ini aku hanya mampu menghayalkan datangnya suatu masa ketika ada banyak keberanian untuk memberi ujian sebenarnya kepada siswa. Sistem memaksaku untuk tidak mengatakan apa-apa, karena meskipun aku katakan tetap saja tidak ada yang mau melaksanakannya.
Dan kau tahu Ul, gilanya lagi--menurutku--sebenarnya pemerintah (Departemen Pendidikan) mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan Ujian ini, maka setiap tahun selalu dibuat aturan dan juknis baru Ujian Nasional, mulai dari peningkatan nilai hingga jumlah naskah yang dibuat semakin beragam.
Dan tahun ini Ul, Ujian Nasional Senin besok, anak-anak akan mengerjakan Ujian sendiri-sendiri. Ada 21 paket soal di tiap ruang Ujian untuk peserta 20 dan 1 cadangan.
Sebulan lalu, aku dan beberapa orang masih benar-benar mengharapkan bahwa tahun ini kami bisa melaksanakan ujian sebagaimana mestinya--meskipun tetap saja aku tidak yakin dengan melihat sikap dan kekhawatiran pada sebagian besar kepala sekolah/madrasah--. Membayangkan siswa benar-benar kembali merasakan ujian yang sebenarnya, melihat siswa berjibaku dan bekerja keras untuk melalui proses ini dengan penuh perjuangan dan kebanggaan.
Dua minggu yang lalu, Pak Miftah mengatakan padaku bahwa kayaknya tahun ini kita benar-benar akan melepas siswa karena rasanya tidak mungkin bagi kita untuk membantu siswa dengan jumlah paket yang begitu besar (satu paket untuk satu siswa).
Ul, kami agak lega mendengarnya karena saat ini efek dari ujian dengan strategi instan benar-benar telah merusak mental dan kemauan belajar siswa. Kacaunya seminggu lalu ketika Ujian Nasional dilaksanakan untuk tingkat SMA/MA, ternyata pada tingkat ini tetap saja cara-cara instan bisa dilaksanakan, dan mulainya berkembang lagi keinginan untuk kembali melaksanakan cara-cara instan, cara-cara yang sebenarnya membunuh sikap mental siswa.
Ul, beberapa kali pak Miftah berbicara denganku, aku tidak menentangnya secara langsung (karena kalau itu aku lakukan pasti ia tidak akan lagi mau berbicara denganku mengenai masalah itu) tapi aku memberikan beberapa alternatif dan resiko yang akan terjadi ketika memutuskan untuk kembali menggunakan strategi instan atau tidak. Aku coba memberi uraian kepadanya tentang betapa strategi yang digunakan di tingkat SMA/MA cukup sulit untuk bisa dilakukan di tingkat SMP/MTs, dan ia pun membenarkan hal itu. Meskipun sudah agak goyah tapi ia masih berkata bahwa kita tidak akan melakukan cara-cara yang mencolok seperti itu, katanya.
Tapi dua hari lalu--ketika para pelaksana lapangan telah bersepakat untuk mengkondisikan siswa siap dalam ujian sebenarnya--tiba-tiba ada kesepakatan tak tertulis di antara para kepala bahwa mereka akan melakukan apa saja untuk membuat siswa-siswa mereka lulus dalam ujian kali ini. Artinya mereka akan kembali melakukan cara-cara instan itu (langsung memberikan kunci kepada siswa).
Ul, aku kasihan dengan Tolhah karena dalam hal ini ia yang harus bertanggung jawab untuk mensosialisasikan kepada siswa, padahal ia salah satu yang menginginkan agar ujian tahun ini benar-benar plong, dilaksanakan sebagaimana mestinya--dengan resiko akan ada beberapa siswa yang tertinggal--.
Padahal kau tahu Ul, tahun ini--meskipun tampaknya sangat ketat--sebenarnya pada sisi lain Ujian Nasional kali ini hampir sama dengan sistem Danem pada masa lalu. Kenapa? karena hasil Ujian Nasional hanya merupakan salah satu nilai untuk menentukan apakah seorang siswa lulus atau tidak.
Gilanya lagi Ul, kali ini anak-anak MTs hanya butuh nilai rata-rata 3,6 di Ujian Nasional mereka (sebuah nilai yang tidak sulit untuk dicapai) bahkan dengan jawaban benar 3 - 4 di dua mata pelajaran saja, siswa masih bisa lulus jika rata-rata yang mereka miliki mencapai 3,6.
Ah...rasanya aku benar-benar ingin marah Ul, Tahun ini sebenarnya merupakan kesempatan yang baik bagi sekolah untuk kembali menempatkan Ujian sebagai benar-benar Ujian, ketika tuntutan pada siswa tidak lagi terlalu tinggi (tahun lalu nilai rata-rata UN harus 5,5 dengan nilai minimal mapel 4 hanya untuk 1 mata pelajaran, tahun ini nilai rata-rata Nilai Akhir 5,5 dengan nilai minimal mapel 4 yang ketika nilai raport dan ujian sekolah ditata dengan rapi maka siswa hanya membutuhkan nilai UN sekitar 0,75 untuk mendapat NA 4, dan sekitar 3,6 untuk mendapat NA 5,6)
Ah, mungkin ini adalah salah satu efek bertahun-tahun Ujian disikapi secara instan, ketika barometer kualitas pendidikan dicarikan jalan keluar instan, bahkan bukan haya siswa yang teracuni sikap mentalknya, pengelola pendidikan (guru dan tenaga kependidikan lainnya) mau tidak mau juga terpengaruh sehingga lebih mengedepankan ketakutan kegagalan dalam pelaksanaan Ujian daripada memperhatikan efek mental yang akan dialami siswa.
Ah...entahlah Ul, aku masih berharap semoga kali ini ada satu peristiwa yang membuat kami mampu kembali berpikir bahwa menjaga karakter siswa jauh lebih penting dari pada sekedar lulus ujian.
Wis ya, kali ini aku cuma pengen cerita tentang UN yang njengkelke, he he...lain kali tak ceritakan yang lain...
Selamat beristirahat...
Love you so much as always.....
...mengalirlah rindu dalam aliran darahku
...berdenyutlah bersama detakku
padamu, tentu padamu, hanya padamu....