Hai Ul, aku yakin semakin berlimpah
rahmat dan anugerah dalam istirahat panjangmu.
Aku harap aku tidak mengganggu seluruh
kedamaian dan kenikmatan yang saat ini engkau nikmati.
Ul, tadi pagi ada acara perpisahan di
TK, sangat ingin aku datang tapi ketika Lana tahu bahwa aku akan
datang, ia malah bilang, 'nak karo bapak Lana ga mangkat'. Ya
sebenarnya aku bisa saja datang setelah Lana berangkat bareng mbak
Nani, tapi aku terlanjur bilang ke Lana, 'ya bapak ga ke TK, Lana
berangkat karo bude' karena saat itu Lana sudah mulai menangis ketika
aku bilang, 'aku tak ke TK ya'.
Ul, sungguh aku ngerasa bahwa aku
benar-benar tidak mampu mendekati Lana, sehingga untuk hadir di acara
perpisahan sekolahnya saja Lana ga mau. Sedih, pengen marah dan
rasanya kecewa menekan dada, bukan kecewa dengan Lana, namun kecewa
karena ternyata aku tidak mampu membuat Lana merasa nyaman bersamaku
dalam hal-hal yang terkait dengan sekolah dan belajar.
Ul, aku ga tahu mesti bagaimana. Aku
kadang merasa bahwa seringkali Lana memandangku sebagai seseorang
yang benar-benar menakutkan, seseorang yang tidak boleh tahu
persoalan apapun terkait dengan sekolah dan belajarnya. Kadang aku
merasa bahwa Lana menganggap aku sebagai 'penghukum', seseorang yang
tidak boleh mengetahui kesalahan dan kekurangannya dalam belajar,
seseorang yang pasti akan menghukum dan memarahinya ketika ia tidak
melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan teman-temannya.
Ul, tampaknya apa yang kita sepakati
dulu benar-benar telah mendarah daging dalam diri Lana, bahwa aku
galak, akan marah jika ada kesalahan dan seterusnya. Semampuku aku
berusaha untuk selalu bersikap lebih permisif terhadap beberapa
kesalahan, namun tidak saja aku merasa Lana tidak pernah menganggapku
sebagai seseorang yang bisa diberitahu hal-hal yang tidak sebagaimana
mestinya. Tetap saja Lana memandangku sebagai seorang bapak yang akan
marah ketika ia melakukan kesalahan, ketika ia tidak mau melakukan
rutinitas seperti ngaji fasolatan tiap habis magrib.
Benar memang beberapa kali aku marah
dengan Lana—biasanya karena ia tidak mau ngaji beberapa hari atau
tiba-tiba tidak mau berangkat sekolah—tapi, sungguh aku juga
bingung, apakah aku mesti permisif terus terhadap apapun yang
diinginkan Lana?
Ul, aku benar-benar bingung bagaimana
cara mendidik dan membimbing Lana. Tak pikir saat ini memang Lana
mendapat porsi pendidikan dan pendewasaan yang kurang berimbang. Aku
menjadi seseorang yang bagi Lana dianggap sebagai seseorang yang
menakutkan, seseorang yang ketika bertanya—selembut apapun aku
coba—seakan-akan dianggapnya sebagai sebuah interogasi yang akan
berakibat 'hukuman' jika ia menjawab. Akhirnya, terlalu sering ia
diam ketika aku bertanya tentang segala sesuatu. Akhirnya ia menjadi
tertutup untuk menceritakan apapun masalah yang dihadapi (biasanya
Lana hanya bercerita padaku tentang hal-hal yang—menurutnya--akan
membuatku senang dan tidak marah). Sementara mbak Nani menjadi
segalanya bagi Lana, menjadi tempat pelarian Lana ketika mengalami
masalah (meskipun tetap saja ia juga tidak bercerita apapun ke mbak
Nani) namun biasanya selalu menangis dan lari ke mbak Nani, menjadi
tempat bergantung untuk hal-hal yang sebenarnya sudah mulai bisa
dilakukan sendiri oleh Lana, menjadi tempat bermanja yang tidak akan
pernah menolak keinginan-keinginan Lana. Jelas aku tidak mungkin
menyalahkan mbak Nani dalam hal ini, bahkan mungkin aku mesti
berterima kasih kepada mbak Nani karena dalam beberapa hal ia
melakukan sesuatu yang melebihi apa yang biasanya dilakukan seorang
'tukang momong'. Mungkin saja bagi mbak Nani, Lana lebih dari sekedar
anak momongannya, namun tetap saja mbak Nani tidak bisa melepaskan
kenyataan bahwa ia adalah 'emban' bagi Lana sehingga tidak mungkin
mbak Nani menolak apapun permintaan Lana (apalagi ketika ia mulai
merengek dan menangis) apalagi membentak Lana untuk menghentikan
permintaannya.
Ah Ul, aku benar-benar tak tahu mesti
bagaimana.
Dengan Anip Lana juga memiliki
kedekatan yang lebih dibandingkan dengan yang lain. Sebuah bentuk
kedekatan yang menurutku berbeda dengan kedekatannya dengan mbak
Nani. Kedekatan Lana dengan Anip adalah sebuah kedekatan untuk
bermanja, sebuah kedekatan yang digunakannya untuk menceritakan
beberapa hal yang kadang tidak diceritakan padaku, sebuah kedekatan
yang bagi Lana berfungsi untuk 'wadul'--untuk mengadukan sesuatu--,
sebuah kedekatan yang kadang sangat tendensius bagi seorang anak,
sebuah kedekatan yang mungkin saja ia gunakan untuk mengalirkan
kerinduannya padamu.
Ul, sungguh kadang aku benar-benar
meragukan diriku sendiri dalam hal ini. Aku kadang meragukan
kemampuanku untuk memberi pendidikan yang tepat bagi Lana. Seringkali
aku tidak mampu untuk tidak mengeluh dan berharap mendapati seorang
teman untuk mendidik Lana.
Ada saat-saat tertentu ketika aku
benar-benar butuh bercerita, butuh sharing dengan seorang teman
terkait dengan perkembangan Lana. Ada saat-saat tertentu ketika aku
benar-benar memerlukan suara lain untuk meyakinkan kembali apa yang
aku lakukan dalam mendidik Lana, merasakan bahwa aku tidak
benar-benar sendiri dalam membimbing dan mendidik Lana.
Ul, mungkin bagi orang lain mudah untuk
melakukan hal itu, mungkin bagi orang lain akan cepat dan mudah untuk
menemukan teman sharing terkait dengan bagaimana mendidik anak, dan
apalagi jika ia sendiri seorang guru. Tapi Ul, aku tetaplah aku,
teman bagiku bukan sekedar seseorang yang sering bertemu dan dapat ku
ujak bicara, teman bagiku adalah seseorang yang benar-benar mengerti
tentang diri kita, mengerti cara berpikir dan paradigma yang kita
gunakan, mengerti dan memahami apa yang bergejolak di hati, mengerti
dan memahami bahkan sebelum sesuatu saling dikatakan.
Dan hanya dengan teman dengan kualitas
seperti itulah aku mampu menceritakan segalanya, menceritakan
kegelisahan dan kekhawatiranku, menceritakan suka dan dukaku,
menceritakan angan dan mimpiku.
Ah Ul, aku benar-benar membutuhkan
kembali hadirmu di sisiku, kayaknya hanya dengan bersamamu aku akan
mampu mendidik dan mendewasakan Lana sebagaimana mestinya.
Ul, beberapa waktu Lana aku merasakan
kenyaman yang hampir sama dengan kenyamanan yang aku rasakan saat
bersamamu dan bercerita apa saja kepadamu. Aku merasakan kenyamanan
itu ketika aku bercerita pada Jun, sehingga aku mampu menceritakan
hampir semua yang aku rasakan kepadanya, sampai kadang aku lupa bahwa
ia adalah Junaidah Nur, adikmu, adik iparku, bukan dirimu.
Ul, jujur aku katakan bahwa dalam
segala kebingunganku saat ini, sangat ingin aku bercerita banyak hal
pada Jun, namun aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak melakukannya
sehingga kadang aku rasakan ada bentangan jarak di antara aku dan Jun
(mungkin aku yang membuatnya begitu). Aku tahu bahwa tidak benar jika
kemudian aku selalu menceritakan segalanya pada Jun, karena ia bukan
kamu. Tidak mungkin aku memaksakan kenyamananku padanya.
Ah entahlah....
Ul, sungguh hari-hari ini aku merasa
bahwa aku tak akan sanggup untuk membawa Lana menuju kedewasaannya
sendiri. Hari-hari ini aku sungguh merasa tidak akan mampu
menghebatkan Lana seorang diri. Aku butuh teman, aku butuh hadirmu
kembali. Aku butuh hadirmu bukan hanya menyatu dalam jiwaku, aku
butuh hadirmu juga dirasakan oleh Lana. Karena menurutku hanya ketika
kita bersama, kita akan mampu mendidik Lana menuju kehebatannya.
Karena untuk dapat berkembang menuju pencapaian potensi maksimalnya
Lana perlu merasakan kehadiran ibu yang selalu menyentuh rasa dan
kesadarannya, selain kehadiran bapak yang akan menjaganya berada
dalam garis dan koridor semestinya.
Ul, jelas aku tidak akan pernah mampu
menjadi seorang ibu bagi Lana, seorang laki-laki tidak akan pernah
mampu menyentuh hati anaknya sebagaimana seorang ibu menyentuhnya.
Mungkin seorang bapak adalah raga bagi seorang anak sedang seorang
ibu adalah jiwa bagi anak-anaknya. Hanya ketika keduanya hadir maka
seorang anak akan menjadi manusia sempurna.
Ul, aku tidak tahu bagaimana memohon
kepada Allah untuk mengkabulkan harapanku dan mungkin aku memang
tidak layak untuk memohon seperti itu. Terlalu banyak noda dan dosa
yang mungkin akan menjadi hijab bagi pengkabulan doaku, maka aku
mohon padamu, mohonlah perkenan pada Allah—karena aku yakin engkau
jauh lebih layak untuk didengar dan dikabulkan doa dan harapan,
karena aku yakin engkau jauh lebih dekat dengan-Nya daripada kami
yang berada di alam fana—agar engkau diperkenankan kembali hadir di
sisiku, agar aku dan Lana kembali mampu merasakan hadirmu, agar kita
kembali bisa bersama-sama menghantarkan Lana menuju segala
kehebatannya.
Ul, tak tahu lagi bagaimana aku mesti
menceritakan rinduku padamu. Jangan khawatir ini bukan kesyirikan,
ini hanyalah wujud syukurku atas anugerah rindu.
Peluk cium dariku untukmu, aku berharap
malam ini aku terbang menuju istanamu....