Kamis, 20 Juni 2013

it's about Lana 2


Hai Ul, aku yakin semakin berlimpah rahmat dan anugerah dalam istirahat panjangmu.
Aku harap aku tidak mengganggu seluruh kedamaian dan kenikmatan yang saat ini engkau nikmati.
Ul, tadi pagi ada acara perpisahan di TK, sangat ingin aku datang tapi ketika Lana tahu bahwa aku akan datang, ia malah bilang, 'nak karo bapak Lana ga mangkat'. Ya sebenarnya aku bisa saja datang setelah Lana berangkat bareng mbak Nani, tapi aku terlanjur bilang ke Lana, 'ya bapak ga ke TK, Lana berangkat karo bude' karena saat itu Lana sudah mulai menangis ketika aku bilang, 'aku tak ke TK ya'.
Ul, sungguh aku ngerasa bahwa aku benar-benar tidak mampu mendekati Lana, sehingga untuk hadir di acara perpisahan sekolahnya saja Lana ga mau. Sedih, pengen marah dan rasanya kecewa menekan dada, bukan kecewa dengan Lana, namun kecewa karena ternyata aku tidak mampu membuat Lana merasa nyaman bersamaku dalam hal-hal yang terkait dengan sekolah dan belajar.
Ul, aku ga tahu mesti bagaimana. Aku kadang merasa bahwa seringkali Lana memandangku sebagai seseorang yang benar-benar menakutkan, seseorang yang tidak boleh tahu persoalan apapun terkait dengan sekolah dan belajarnya. Kadang aku merasa bahwa Lana menganggap aku sebagai 'penghukum', seseorang yang tidak boleh mengetahui kesalahan dan kekurangannya dalam belajar, seseorang yang pasti akan menghukum dan memarahinya ketika ia tidak melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan teman-temannya.
Ul, tampaknya apa yang kita sepakati dulu benar-benar telah mendarah daging dalam diri Lana, bahwa aku galak, akan marah jika ada kesalahan dan seterusnya. Semampuku aku berusaha untuk selalu bersikap lebih permisif terhadap beberapa kesalahan, namun tidak saja aku merasa Lana tidak pernah menganggapku sebagai seseorang yang bisa diberitahu hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya. Tetap saja Lana memandangku sebagai seorang bapak yang akan marah ketika ia melakukan kesalahan, ketika ia tidak mau melakukan rutinitas seperti ngaji fasolatan tiap habis magrib.
Benar memang beberapa kali aku marah dengan Lana—biasanya karena ia tidak mau ngaji beberapa hari atau tiba-tiba tidak mau berangkat sekolah—tapi, sungguh aku juga bingung, apakah aku mesti permisif terus terhadap apapun yang diinginkan Lana?
Ul, aku benar-benar bingung bagaimana cara mendidik dan membimbing Lana. Tak pikir saat ini memang Lana mendapat porsi pendidikan dan pendewasaan yang kurang berimbang. Aku menjadi seseorang yang bagi Lana dianggap sebagai seseorang yang menakutkan, seseorang yang ketika bertanya—selembut apapun aku coba—seakan-akan dianggapnya sebagai sebuah interogasi yang akan berakibat 'hukuman' jika ia menjawab. Akhirnya, terlalu sering ia diam ketika aku bertanya tentang segala sesuatu. Akhirnya ia menjadi tertutup untuk menceritakan apapun masalah yang dihadapi (biasanya Lana hanya bercerita padaku tentang hal-hal yang—menurutnya--akan membuatku senang dan tidak marah). Sementara mbak Nani menjadi segalanya bagi Lana, menjadi tempat pelarian Lana ketika mengalami masalah (meskipun tetap saja ia juga tidak bercerita apapun ke mbak Nani) namun biasanya selalu menangis dan lari ke mbak Nani, menjadi tempat bergantung untuk hal-hal yang sebenarnya sudah mulai bisa dilakukan sendiri oleh Lana, menjadi tempat bermanja yang tidak akan pernah menolak keinginan-keinginan Lana. Jelas aku tidak mungkin menyalahkan mbak Nani dalam hal ini, bahkan mungkin aku mesti berterima kasih kepada mbak Nani karena dalam beberapa hal ia melakukan sesuatu yang melebihi apa yang biasanya dilakukan seorang 'tukang momong'. Mungkin saja bagi mbak Nani, Lana lebih dari sekedar anak momongannya, namun tetap saja mbak Nani tidak bisa melepaskan kenyataan bahwa ia adalah 'emban' bagi Lana sehingga tidak mungkin mbak Nani menolak apapun permintaan Lana (apalagi ketika ia mulai merengek dan menangis) apalagi membentak Lana untuk menghentikan permintaannya.
Ah Ul, aku benar-benar tak tahu mesti bagaimana.
Dengan Anip Lana juga memiliki kedekatan yang lebih dibandingkan dengan yang lain. Sebuah bentuk kedekatan yang menurutku berbeda dengan kedekatannya dengan mbak Nani. Kedekatan Lana dengan Anip adalah sebuah kedekatan untuk bermanja, sebuah kedekatan yang digunakannya untuk menceritakan beberapa hal yang kadang tidak diceritakan padaku, sebuah kedekatan yang bagi Lana berfungsi untuk 'wadul'--untuk mengadukan sesuatu--, sebuah kedekatan yang kadang sangat tendensius bagi seorang anak, sebuah kedekatan yang mungkin saja ia gunakan untuk mengalirkan kerinduannya padamu.
Ul, sungguh kadang aku benar-benar meragukan diriku sendiri dalam hal ini. Aku kadang meragukan kemampuanku untuk memberi pendidikan yang tepat bagi Lana. Seringkali aku tidak mampu untuk tidak mengeluh dan berharap mendapati seorang teman untuk mendidik Lana.
Ada saat-saat tertentu ketika aku benar-benar butuh bercerita, butuh sharing dengan seorang teman terkait dengan perkembangan Lana. Ada saat-saat tertentu ketika aku benar-benar memerlukan suara lain untuk meyakinkan kembali apa yang aku lakukan dalam mendidik Lana, merasakan bahwa aku tidak benar-benar sendiri dalam membimbing dan mendidik Lana.
Ul, mungkin bagi orang lain mudah untuk melakukan hal itu, mungkin bagi orang lain akan cepat dan mudah untuk menemukan teman sharing terkait dengan bagaimana mendidik anak, dan apalagi jika ia sendiri seorang guru. Tapi Ul, aku tetaplah aku, teman bagiku bukan sekedar seseorang yang sering bertemu dan dapat ku ujak bicara, teman bagiku adalah seseorang yang benar-benar mengerti tentang diri kita, mengerti cara berpikir dan paradigma yang kita gunakan, mengerti dan memahami apa yang bergejolak di hati, mengerti dan memahami bahkan sebelum sesuatu saling dikatakan.
Dan hanya dengan teman dengan kualitas seperti itulah aku mampu menceritakan segalanya, menceritakan kegelisahan dan kekhawatiranku, menceritakan suka dan dukaku, menceritakan angan dan mimpiku.
Ah Ul, aku benar-benar membutuhkan kembali hadirmu di sisiku, kayaknya hanya dengan bersamamu aku akan mampu mendidik dan mendewasakan Lana sebagaimana mestinya.
Ul, beberapa waktu Lana aku merasakan kenyaman yang hampir sama dengan kenyamanan yang aku rasakan saat bersamamu dan bercerita apa saja kepadamu. Aku merasakan kenyamanan itu ketika aku bercerita pada Jun, sehingga aku mampu menceritakan hampir semua yang aku rasakan kepadanya, sampai kadang aku lupa bahwa ia adalah Junaidah Nur, adikmu, adik iparku, bukan dirimu.
Ul, jujur aku katakan bahwa dalam segala kebingunganku saat ini, sangat ingin aku bercerita banyak hal pada Jun, namun aku berusaha sedapat mungkin untuk tidak melakukannya sehingga kadang aku rasakan ada bentangan jarak di antara aku dan Jun (mungkin aku yang membuatnya begitu). Aku tahu bahwa tidak benar jika kemudian aku selalu menceritakan segalanya pada Jun, karena ia bukan kamu. Tidak mungkin aku memaksakan kenyamananku padanya.
Ah entahlah....
Ul, sungguh hari-hari ini aku merasa bahwa aku tak akan sanggup untuk membawa Lana menuju kedewasaannya sendiri. Hari-hari ini aku sungguh merasa tidak akan mampu menghebatkan Lana seorang diri. Aku butuh teman, aku butuh hadirmu kembali. Aku butuh hadirmu bukan hanya menyatu dalam jiwaku, aku butuh hadirmu juga dirasakan oleh Lana. Karena menurutku hanya ketika kita bersama, kita akan mampu mendidik Lana menuju kehebatannya. Karena untuk dapat berkembang menuju pencapaian potensi maksimalnya Lana perlu merasakan kehadiran ibu yang selalu menyentuh rasa dan kesadarannya, selain kehadiran bapak yang akan menjaganya berada dalam garis dan koridor semestinya.
Ul, jelas aku tidak akan pernah mampu menjadi seorang ibu bagi Lana, seorang laki-laki tidak akan pernah mampu menyentuh hati anaknya sebagaimana seorang ibu menyentuhnya. Mungkin seorang bapak adalah raga bagi seorang anak sedang seorang ibu adalah jiwa bagi anak-anaknya. Hanya ketika keduanya hadir maka seorang anak akan menjadi manusia sempurna.
Ul, aku tidak tahu bagaimana memohon kepada Allah untuk mengkabulkan harapanku dan mungkin aku memang tidak layak untuk memohon seperti itu. Terlalu banyak noda dan dosa yang mungkin akan menjadi hijab bagi pengkabulan doaku, maka aku mohon padamu, mohonlah perkenan pada Allah—karena aku yakin engkau jauh lebih layak untuk didengar dan dikabulkan doa dan harapan, karena aku yakin engkau jauh lebih dekat dengan-Nya daripada kami yang berada di alam fana—agar engkau diperkenankan kembali hadir di sisiku, agar aku dan Lana kembali mampu merasakan hadirmu, agar kita kembali bisa bersama-sama menghantarkan Lana menuju segala kehebatannya.
Ul, tak tahu lagi bagaimana aku mesti menceritakan rinduku padamu. Jangan khawatir ini bukan kesyirikan, ini hanyalah wujud syukurku atas anugerah rindu.

Peluk cium dariku untukmu, aku berharap malam ini aku terbang menuju istanamu....