Jumat, 22 Februari 2013

Bagian dari gilaku


Ul, kayake aku benar-benar stres ki, sampai bingung mesti dari mana aku cerita. Hari-hari ini aku benar-benar butuh teman cerita, seseorang yang mau mendengar ceritaku dan aku bisa menerimanya sebagai orang yang mendengar ceritaku. Seseorang yang aku benar-benar nyaman untuk bercerita apapun kepadanya dan hatiku sedikit lega setelah selesai bercerita, seseorang yang aku tidak akan pernah malu menceritakan segala keluhnya, lemahku, gilaku, seseorang yang aku tidak pernah merasa takut ia akan membeberkan segala rahasiaku, seseorang yang meski ia membeberkan rahasiaku aku pun tidak akan marah karena itu. Seseorang yang itu adalah engkau di alam nyataku dan setelah itu Jun beberapa waktu yang lalu sebelum kemudian aku melakukan kesalahanku dan ia tak lagi mau mendengar cerita-ceritaku (meski aku tetap berharap ia masih mau membaca cerita-ceritaku).
Ah, entahlah Ul, hari-hari ini kayaknya hatiku penuh dengan kebencian, penuh dengan kemarahan, mudah terpancing oleh emosi, mudah menyalahkan segala sesuatu atas hal buruk yang terjadi. Tidak di rumah, tidak di sekolah, beberapa hari ini aku terlalu sering meletup-letup mengumbar kemarahan, menyingkirkan kepedulian.
Ul, kayaknya aku mulai benar-benar kehilangan kendali, mulai benar-benar kehilangan arah dan langkah. Semua seakan berjalan bertentangan dengan apa yang ku rencanakan, sehingga membuatku semakin gak karuan, semakin ga jelas, dan semakin kehilangan tumpuan.
Ul, aku benar-benar tidak tahu dengan pasti apa sebenarnya yang terjadi, apa yang menjadi sebab sehingga aku mulai kehilangan kendali diri, mulai menyimpang--bahkan mulai jauh menyimpang--tanpa mampu lagi ku kendalikan, tanpa mampu lagi ku belokkan (meski pada titik-titik tertentu kadang muncul kesadaran bahwa apa yang aku lakukan telah menyimpang dari segala yang biasanya aku lakukan).
Ul, secara psikologis aku tahu aku tidak dalam keadaan yang cukup stabil, emosiku benar-benar susah ku tebak sendiri, kadang dengan tiba-tiba aku menjadi sangat marah tanpa sebab pasti. Entah apa sebenarnya yang tersembunyi dan tak mampu benar-benar ku lepaskan dari relung hati. Entah apa yang memicu semua kegilaan dan ketakwarasan ini. Aku benar-benar tak mengerti.
Ul, ibadahku pun kocar-kacir, morat-marit. Masa dalam dua minggu ini aku kehilangan isya' ku. Aku sendiri hampir tidak percaya kalau lingkaran ini menjadi semakin sempit, apalagi kebiasaan-kebiasaan lain yang coba ku bangun beberapa waktu lalu, kebiasaan-kebiasaan yang ku coba bangun untuk menjaga hatiku, menjaga kesadaranku, menjaga jiwaku aku tetap dalam garis yang mententramkan. Qur'an sudah tak lagi tersentuh tanganku lebih dari dua bulan, apalagi terlafadzkan lisanku, tahajjud tak lagi mengisi malam-malamku--mungkin sudah hampir dua bulan--meski tengah malam kadang aku terbangun dan tak lagi mampu pejamkan mataku.
Ul, aku bukan orang yang lagi melakukan perlawanan, aku bukan pula orang yang lagi ingin menarik perhatian Tuhan dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah kebaikan, bukan orang yang mendekati Tuhan dengan jalan yang seakan berlawanan, aku bukan pengikut Tantra Kiri, aku bukan pula Juhala Hukama, aku hanya orang yang seakan tak lagi memiliki pegangan, terombang-ambing di tengah samudera kehidupan, terlempar ke atas ke bawah ke kiri ke kanan dalam badai kehidupan. Segalanya berjalan di luar kesadaran, berjalan begitu saja tanpa terencana--meski terlalu sering sesal menunggu di akhir sana. Dan menangis selalu mengiringinya (ah...tetap saja aku cengeng ya...biarlah...)
Ul, aku seperti kehilangan kembali seluruh nilaiku, aku kehilangan jiwa dan ruh yang menggerakkan raga dan inginku, aku seperti tubuh kosong yang melakukan kebiasaan-kebiasaan alamiyah hanya untuk penuhi tuntutan jasmaniyah, aku seperti robot yang digerakkan oleh kebiasaan, bukan oleh titah yang ditetapkan.
Ul, kadang aku berpikir bahwa aku memang sudah mati, hanya tersisa nafas dalam raga yang tak lagi berjiwa, menunggu kematian untuk melepaskan ikatan dengan ruang waktu, lalu kembali bersatu denganmu. Kadang aku berpikir bahwa aku memang tak lagi punya impian, harapan, dan angan, segalanya telah selesai bersama dengan saat engkau melintas ruang waktu. Yang ku lakukan selama waktu tungguku hanyalah mencoba memenuhi segala inginmu, mimpimu, harapanmu yang kadang saat ku capai aku malah merasa menjadi semakin kehilangan segalanya, karena tujuanku hilang satu, sisa jiwaku perlahan meninggalkan hari-hariku. Aku kadang berpikir bahwa tak perlu lagi aku mempertahankan sisa nafas ini, semakin lama semakin perih tiap tarikan nafasku, semakin pedih tiap hembusan nafasku.
Namun Ul, ketika aku teringat Lana, ketika aku melihat Lana dalam segala kewajarannya, muncul keinginan untuk kembali mempertahankan sisa-sisa nafas kehidupan. Aku mesti membawanya menuju segala kehebatan, menunjukkan jalan menuju pemenuhan takdir kehidupannya di masa depan.
Tapi, Lana bukan impian kita yang tak punya impian, Lana bukan tanah yang engkau inginkan yang dengan mudah bisa aku dapatkan saat segalanya memungkinkan, bukan perjalanan suci yang kita rencanakan untuk menyempurnakan keimanan. Lana adalah impian terbesar kita. Impian yang punya impian, impian yang memiliki angan dan harapannya sendiri. Lana adalah pribadi, hasil cinta suci kita, yang hanya bisa dihebatkan oleh jiwa sabar tegar untuk menjadikannya luar biasa.
Aku tahu Ul, dalam sakitku ini, dalam remuk redam dan kegilaan tanpa kendali ini, dalam segala ketakwarasanku ini, tak mungkin aku mampu menghebatkannya, tak mungkin aku mampu membawanya pada segala keluarbiasaannya. 
Ul, aku hancur Ul, benar-benar hancur, tak ada lagi kualitas kebaikan dalam diriku yang tersisa. Runtuh kembali runtuh. Entah bagaimana aku bisa bangkit kembali. Entah bagaimana aku bisa tegak kembali. Entah bagaimana aku bisa menjadi kembali.
Ul, I need you, benar-benar membutuhkannya, aku membutuhkan uluran tanganmu untuk menarikku dari jurang kejatuhanku, aku membutuhkan seulas senyummu untuk membakar kembali jiwaku yang semakin beku, aku membutuhkan dekapanmu untuk kembali mengikat dan menyatukan puing-puing jiwaku, aku membutuhkan suaramu untuk kembali merangsang telinga jiwaku, aku membutuhkan apapun darimu untuk kembali menghidupkan jiwa dan ruhku. Aku membutuhkan hadirmu untuk kembali menghadirkan diriku, aku membutuhkanmu dalam wujud apapun yang diperkenankan Ia Sang Segala Maha untukku.
Ul, aku mulai ketakutan, aku mulai tak lagi mengenal siapa dan bagaimana diriku, aku mulai kehilangan jati diriku dan aku sangat ketakutan karena itu.
Ul, kadang aku benar-benar ingin mematikan seluruh rasaku, mematikan seluruh ingin dan anganku, biar saja aku tak punya apa-apa lagi, biar saja aku tak hidup lagi, biar saja aku hanya raga tanpa jiwa, biar saja langkahku bukan aku yang menentukannya, biar saja.
Ul, hanya saja Lana tak membiarkanku melakukannya, semakin aku larut dalam gilaku, semakin aku lebur dalam pengabaianku, semakin aku merasa bersalah padanya, semakin aku menangis darah saat memandang wajah tenang dalam tidurnya. Serasa tak ada guna lagi aku, serasa tak ada perlu lagi aku di dunia, dan semakin ada yang layak aku tempati selain neraka.
Tidakkah demikian Ul? Adakah tempat di surga bagi ia yang tak mampu bertanggung jawab atas apa yang menjadi kewajibannya, adakah tempat di surga bagi ia yang tak mampu menjalankan amanat yang dititipkan kepadanya, adakah tempat di surga bagi ia yang tak mampu menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya? Tidak ada kan?...
Ah, entahlah Ul, terlalu banyak wajibku yang telah ku tinggalkan, terlalu banyak wajibku yang ku tunda dan belum ku laksanakan, terlalu banyak wajibku yang mungkin tak akan pernah mampu aku jalankan.
Ah, entahlah.....sudahlah....
yang jelas aku merindumu, menanti hadirmu dalam wujud apapun yang diperkenankan bagiku, atau sebaiknyakah aku segera menyusulmu?