Jumat, 13 Desember 2013

cerita lagi ya...

Hai Ul, semoga kita selalu senantiasa dalam naungan dan jalan yang diridloi, semoga engkau selalu berada dalam kedamaian dan kebahagiaan. 
Ul, ada banyak cerita yang ingin ku bagi, bahkan mungkin terlalu banyak untuk dapat aku ceritakan dalam satu tulisan ini. Setiap detik perjalanan adalah sebuah cerita, setiap denyut berdetak adalah sebuah cerita, setiap mata berkedip pun adalah sebuah cerita.
Ul, aku ga ngerti kali ini akan kemana jalan ceritaku, seperti juga aku ga ngerti nanti akhirnya dari mana aku akan memulai ceritaku. Atau mungkin suatu saat aku perlu membuat tema-tema dalam ceritaku pa ya? (he he).
Beberapa hari yang lalu Anip dan Jun pulang, mereka membawakan Lana sebuah boneka. Boneka Doraeman yang besar. Jelas Lana senang lah. Bersamaan dengan itu, ndilalah mbak Rima dan keluarga juga ke rumah, so boneka ne disimpan dulu biar ga bikin iri Aisyi dan Salsa. Meskipun akhirnya boneka itupun digunakan untuk main bersama, tapi tidak sampai ada yang tahu bahwa boneka itu diberikan ke Lana.
Ya, sebenarnya tidak ada yang istimewa, semua merupakan hal yang biasa dan lumrah terjadi ketika dalam waktu-waktu tertentu Anip dan Jun pulang. Cuma mungkin aku saja yang melihatnya dengan cara berbeda dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.
Kau tahu Ul, entah ini kebetulan yang berapa kali, Jun pulang dengan memakai kerudung biru seperti yang dulu sering kau kenakan. Tidak ada yang salah dengan hal itu, dan mungkin saja ketika mengenakan itu Jun juga tidak kepikiran apa-apa.
Sebenarnya pas pulang, Anip memintaku dan Aam untuk menjemput di Ngantru, tapi karena agak gerimis, akhire mereka naik dokar meskipun aku dan Aam juga sudah sampai di Ngantru. Ketika itulah aku sekilas aku melihat bahwa yang duduk di dokar itu dirimu dengan kerudung biru kesukaanmu bukan Jun. Ah, mungkin aku terlalu merindumu Ul, sehingga segala sesuatu menjadi seakan-akan dirimu ataukah engkau benar-benar ada dalam dirinya? Entahlah Ul.
Ul kau tahu, semakin takut saja aku bertanya sesuatu kepada Jun, semakin takut saja jika pertanyaan yang tak ajukan menyinggungnya, semakin takut saja aku jika ia semakin menjauhiku.
Kadang aku berpikir seperti kembali kepada masa lalu, masa ketika aku takut ngobrol denganmu, masa ketika aku menjadi salah tingkah saat berada di dekatmu, cuma kali ini dengan tingkat ketakutan dan kerumitan yang berbeda.
Serius Ul, aku merasa seperti merasakan getaran yang sama dengan yang pernah kurasakan dalam dirimu, ada rasa nyaman seperti rasa nyaman kala bersamamu. Aku juga tidak tahu aku mesti menyebutnya apa? Apakah engkau benar-benar mulai mewujud dalam dirinya? Ataukah aku mulai mencintainya sebagai seorang laki-laki kepada seorang perempuan sehingga aku merasakan getar yang mirip dengan getar kita? Tapi sejauh pengetahuanku dari bacaan yang pernah ku baca getar jiwa yang keluar dari satu orang tidak akan pernah sama dengan orang lain. Artinya ketika kita mencintai seseorang kemudian karena sesuatu hal kita mesti mencintai orang yang berbeda, maka getar yang kita rasakan tidak ada sama, masing-masing pribadi memiliki pancaran jiwa berbeda yang juga akan menghasilkan getar berbeda.
Ul, ada saat-saat tertentu ketika aku benar-benar merasakan ketidak nyamanan luar biasa dengan segala kekakuan ini. Ada saat-saat ketika aku benar-benar ingin menceritakan segala sesuatu kepada Jun sebagaimana ketika aku menceritakan segala sesuatu kepadamu.
Kadang aku merasa bahwa apa yang menjadi sebab kenapa Jun memutuskan untuk bersikap seperti ini mungkin karena aku telah bercerita banyak hal kepadanya (termasuk hal-hal privasi yang tidak pernah aku ceritakan kepada orang lain). Mungkin ia merasa perlu untuk menjaga jarak karena mungkin menurutnya jarak di antara kami sudah terlalu dekat, atau mungkin ada beberapa ceritaku yang membuatnya kecewa, atau bahkan marah--terutama yang terkait denganmu atau Lana dan beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi (termasuk kemungkinan aku akan memintanya menikah denganku), ah entahlah Ul.
Beberapa kali terlintas dalam pikiranku bahwa mungkin cara terbaik untuk mengatasi hal ini adalah memberitahu Jun tentang apa yang terjadi, bahwa faktanya aku mulai mencintainya sebagai laki-laki kepada perempuan (lepas apakah karena engkau benar-benar mengejawantah dalam dirinya ataukah aku benar-benar mulai mencintainya kemudian merasa bahwa engkau mengejawantah dalam dirinya?), bahwa jika aku mulai berpikir tentang sebuah pernikahan maka yang ada dalam pikiranku adalah menikah dengan dirinya? Atau cukup dengan bertanya kepadanya; 'maukah engkau suatu saat menikah denganku?'. 
Sebenarnya mungkin ketakutan terbesarku bukan apakah kemudian ketika aku bertanya, Jun menerima atau menolakku, ketakutan yang mencegahku untuk mengatakan hal ini adalah ketakutan bahwa kemudian Jun benar-benar menutup segala hal yang terkait denganku. Dan itu sampai sekarang belum bisa aku terima. Tetap saja aku belum sanggup untuk menghadapi kenyataan bahwa orang yang sangat engkau sayangi menjauh dariku, aku belum sanggup menghadapi kenyataan bahwa--entah sengaja atau tidak--aku menyakiti orang yang sangat dekat denganmu.
Saat inipun--lepas dari apakah aku tergetar atau tidak--aku sendiri kadang berhitung terkait dengan kemungkinanku menikah dengan Jun. Bahwa sampai kapanku, jika kami masih memegang prinsip masing-masing maka kans nya kecil. Setidaknya ada dua hal yang tidak mungkin dapat kami pertemukan. Pertama, saat ini aku sama sekali tidak punya keinginan untuk berpindah tempat dari Selo karena di sana ada makammu, sedang Jun pernah berkata padaku pada ia tidak mungkin kembali dan tinggal di Selo. Kedua, aku tahu Jun tidak mau menjadi bayangan bagi siapapun, termasuk menjadi bayanganmu (kakak yang sangat ia banggakan dan sayangi), dan ia tahu bagaimana pandanganku tentang cinta (karena aku pernah bicara banyak dengannya tentang hal ini--dulu saat kami masih bisa bicara dengan bebas tanpa beban).
Kadang aku membayangkan bahwa suatu saat akan ada waktu ketika akan ditunjukkan kepada isyarat-isyarat yang meyakinkanku bahwa--entah dia menerimaku ataupun menolakku sebagai seorang perempuan dewasa--hubungan di antara kami akan baik-baik saja seperti masa-masa yang lalu, bahwa hubungan di antara kami akan kembali seperti semula sebagai kakak dan adik. Sebagaimana dulu ditunjukkan isyarat-isyarat yang meyakinkanku bahwa engkau akan menerimaku sebagai bagian dari dirimu.
Kadang aku juga merasa karena seringkali memberitahu (via sms) dan bercerita tentang Lana mungkin membuat Jun berpikir memang perlu untuk menjaga jarak denganku. Tidak salah memang, namun kau tahu Ul, sejak Jun menunjukkan sms mu kepadanya terkait Lana, sejak itu pula aku meyakini bahwa engkau mewakilkan pengawasanmu terhadap perkembangan Lana kepada Jun, aku aku merasa punya kewajiban untuk memberitahu keadaan dan perkembangan Lana kepada Jun sebanyak yang aku bisa.
Ah, entahlah Ul, aku tidak tahu sampai kapan bisa memendam ini (kadang aku juga berharap Jun menikah dengan laki-laki yang mampu menggetar hatinya dalam waktu yang tidak terlalu lama kemudian segala bias yang ada di antara kami akan hilang, sebuah harapan yang penuh kepentingan, he he). Ada saat-saat ketika aku benar-benar ingin kembali mampu bercerita kepada seseorang yang mampu membuatku merasa nyaman untuk menceritakan segala hal. Dan hingga saat ini hanya dua orang yang membuatnya nyaman untuk menceritakan segala hal, engkau dan Jun. Itupun tidak bisa hadir dalam satu waktu, baru setelah engkau berpindah ke dimensi lain, aku baru mulai bisa bercerita kepada Jun tentang segala hal dengan nyaman hingga tiba ketika mungkin ceritaku terlalu jauh.
Aku tidak bisa memindahkan rasa nyaman ini kepada orang lain sebagaimana aku juga tidak pernah menyengaja untuk berusaha merasakan kenyamanan saat bercerita kepada Jun setelah engkau berpindah ke dimensi cahaya. Bagiku ini merupakan sesuatu yang taken for granted (sebuah anugerah). Dan yang bisa dilakukan untuk sebuah anugerah adalah menikmati dan mensyukurinya.
Atau mungkin ketakutanku belum sampai puncaknya sehingga aku masih bisa untuk memendamnya.
Ah entahlah Ul, yang jelas dan aku tahu adalah bahwa aku selalu merindumu, merindukan segala yang ada dalam dirimu....

Love you so much as always.....see you.....

O ya, kemarin pas pulang ke Pare, Anip kecopetan, di dalamnya ada uang, KTP, Kartu ATM, STNK Duplikat (padahal KTP baru saja buat sehari sebelumnya, dan STNK duplikat juga baru tak serahkan). Entahlah ada apa dengan anak itu, kenapa cerita tentang kehilangan barang cukup sering mengikuti perjalanannya...

Dah dulu  ya....

Minggu, 24 November 2013

Ul, aku terlalu merindumu atau engkau ingin menyampaikan sesuatu kepadaku?

Hi Ul, semoga senantiasa kita diperkenankan untuk menikmati dan mensyukuri setiap anugerah yang dicurahkan kepada kita.
Ul, bingung juga aku mesti mulai dari mana. Beberapa waktu ini memang aku mencoba untuk apapun kepadamu, mencoba untuk menanggung sendiri. Berat dan susah memang, karena aku sudah tidak terbiasa lagi untuk tidak bercerita kepadamu. 
Ul, aku ga pernah mengerti dan memahami dengan apapun yang terjadi, aku hanya mencoba untuk meyakini bahwa apapun yang terjadi adalah hal terbaik yang mesti terjadi dalam pandangan Dzat yang Maha Menetapkan untukku, untukmu, untuk kita.
Ul, minggu lalu tiga kali engkau hadir menemuiku. Aku ga tahu apakah karena aku terlalu merindumu atau mungkin engkau ingin berbicara dan menyampaikan sesuatu kepadaku.
Dalam ketiga pertemuan itu--dengan setting berbeda--kita selalu berada dalam sebuah perjalanan dan kemudian kita pulang. Entah kisahnya aku bertemu dalam sebuah perjalanan kemudian aku mengajakmu pulang, atau engkau memintaku untuk menjemputmu di suatu tempat kemudian kita pulang, atau dari awal kita bersama dalam sebuah perjalanan kemudian kita pulang.
Ul, aku terlalu merindumu atau engkau ingin menyampaikan sesuatu padaku?. Aku sangat merindumu, ya...ada titik-titik tertentu dalam perjalanan kehidupan di mana kita merasa sendiri, merasa betapa kita tidak akan mampu untuk menjalani kehidupan sendiri, merasa betapa kita merindukan seseorang yang menjadi bagian dari diri kita, merasa betapa kita membutuhkan sandaran dan tempat untuk kembali, merasa betapa aku ingin engkau kembali hadir bersamamu, bersama menjalani hidup dan merencanakan angan, berpeluh keringat membuat dan mengejar impian.
Atau engkau ingin menyampaikan sesuatu padaku. Engkau ingin menyampaikan bahwa hampir tiba waktunya engkau kembali hadir bersamaku, hampir tiba waktunya kita akan kembali bersama, hampir tiba waktunya kita akan kembali saling bercerita, hampir tiba waktunya engkau hadir kembali dalam hidupku, hampir tiba waktunya kita akan kembali merajut mimpi bersama, hampir tiba waktunya. Meskipun tetap saja aku tak tahu, apakah engkau akan kembali hadir dalam nyataku dalam wujud barumu, ataukah engkau akan kembali hadir dalam nyataku dalam kehadiran jiwa, ataukah aku yang akan menemuimu di dimensi alam yang berbeda.
Ul, pada satu sisi rinduku padamu seakan menghempaskanku dalam ketak berdayaan, rasa sepi sendiri menghempaskanku dalam kesendirian yang seakan tanpa ujung, namun pada sisi lain, ku nikmati setiap tarikan rindu padamu sebagai salah satu anugerah terbaik yang diberikan padaku, ku nikmati setiap pedih dan perihnya sebagai cara Tuhan memberitahu kita betapa kita mesti mensyukuri setiap keindahan yang dihamparkan di hadapan kita, betapa kita mesti mensyukuri setiap perjalanan kehidupan yang membuat kita hidup dalam kematian atau mati dalam kehidupan.
Ul, ada banyak cerita yang kadang ketika dijalani sendiri benar-benar membuatku jatuh dalam ketak berdayaan, ada banyak hal yang membuatku berpikir bahwa aku tidak akan mampu menjalani ini sendiri, ada banyak hal menyenangkan yang membuatku bersedih karena aku tak mampu membaginya denganmu.
Ah entahlah Ul, kadang aku merasa kehidupan kita benar-benar sudah berakhir ketika engkau berpindah ke dimensi alam yang berbeda. Kadang aku merasa bahwa jika pun saat ini aku masih berada di sini, tidak lebih dari sekedar untuk melaksanakan amanat kita, memenuhi tanggung jawab kita sebagai orang tua--sesuatu yang seringkali membuatku luruh dalam ketakberdayaan karena hingga kini pun aku belum benar-benar tahu apa yang mesti aku lakukan untuk menjalankan amanat dengan benar dan sesuai yang dikehendakiNya--. Kadang aku merasa bahwa di sisa nafasku ini aku tak lagi punya keinginan besar untuk mengejar sesuatu, kadang aku berpikir bahwa selain untuk menjalankan amanat kehidupan, di sisa nafasku ini aku hanya ingin berusaha untuk memberi kemanfaatan kepada sekitar, hanya mencoba untuk senantiasa memberi kemanfaatan tanpa peduli apakah aku akan mendapat pujian atau celaan. Kadang aku merasa bahwa aku tak lagi punya keinginan dan ambisi untuk mengejar dan mempertahankan sesuatu, karena keinginanku terbesarku adalah segera kembali bersamamu, menghilangkan dahaga rindu bersamamu, di singgasana keagungan cinta yang penuh ridla dan diridlai.
Ah entahlah Ul, aku lagi benar-benar merindumu dan selalu seperti itu. Aku bersyukur untuk itu. Aku menikmati setiap detik rindu padamu, kadang aku merasa mungkin rinduku padamu adalah jalan bagiku untuk menemukan cinta Tuhan kepadaku, mungkin rinduku padamu adalah jalan bagiku untuk menemukan kerinduan tak tertahan akan Tuhan, mungkin rinduku padamu adalah jalan untukku menemukan kesejatian diri.
Ul, jika memang engkau ingin menyampaikan sesuatu padaku, mohonkan pada Ia yang Segala Maha untuk memperkenankanku memahami bahasanya dengan benar, mohonkan agar Ia memperkenankanku menangkap segala apa yang engkau sampaikan dengan tepat.
Ul, akhirnya kembali ku pejamkan mataku agar engkau kembali hadir di sisiku, merasakan lembut desahmu, menikmati denyat yang mendetak menyambut denyut detakmu, merinding merasakan desir yang berhembus mengawali gerak lingkar tanganmu yang memelukku.
Ul.....

Senin, 21 Oktober 2013

Ul, kangen banget ki.........

Jumat, 13 September 2013

..dan akhirnya....hanya rindu...

Ul, sangat banyak hal yang ingin ku ceritakan padamu. Begitu banyaknya hingga seakan ketika aku hendak bercerita padamu bukan satu huruf yang muncul untuk mengawali, namun lebih dari lima huruf muncul untuk berebut menjadi huruf pembuka ceritaku, dan akhirnya aku pun tak mampu bercerita apa-apa. 
Namun satu hal yang aku tahu pasti Ul, aku sangat merindumu. Hanya itu pada akhirnya yang bisa aku ucap dalam ceritaku kali ini.

Aku sangat merindumu dalam tiap tarik nafasku
aku sangat merindumu dalam tiap denyut yang mendetak jantungku
aku sangat merindumu dalam tidur dan sadarku
aku sangat merindumu hingga semua menampilkan siluetmu
aku sangat merindumu hingga semua cerita tentangmu menggelombang menghantam
dinding memoriku
aku sangat merindumu hingga kembali ku sebut namamu sebelum dan setelah penyebutan Asma Tuhanku
aku sangat merindumu dalam getar suara yang mendesah dari jiwaku
aku sangat merindumu dalam tatap sendu mata rinduku
aku sangat merindumu hingga seluruh utuh dirimu hadir dalam setiap jengkal peristiwaku
aku sangat merindumu hingga sepi sunyi relung-relungku
aku sangat merindumu hingga aku tak bisa berkata apa-apa lagi
aku sangat merindumu hingga aku hanya bisa berkata aku rindu padamu kekasihku...

Minggu, 08 September 2013

it's about me (sekolah)

Hai Ul, semoga keberlimpahan anugerah senantiasa menaungimu.
Ul, kemarin menjelang magrib Hilmi datang ke rumah, katanya aku ditunggu Pak Bukhari di rumahnya, kemudian aku ke sana untuk menemuinya. Aku berpikir bahwa mungkin pak Bukhari akan bertanya kepadaku tentang MTs Putera, tapi apa yang terjadi tidak seperti yang tak pikir. Pak Bukhari 'memerintahkanku' (tanpa minta kesediaan) untuk menjadi Kepala MTs Putera Sunniyyah. (sesuatu yang beberapa hari ini sedikit banyak mengkhawatirkanku. Karena beberapa hari ini aku melihat indikasi itu, dan aku salah satu yang membuatku takut adalah bahwa aku mulai menginginkan jadi kepala--sesuatu yang mungkin akan mengacaukan jika aku benar-benar menjadi kepala MTs Pa).
Ul, Aku gak tahu apakah aku senang, gembira, kecewa atau sedih. Yang jelas sampai rumah aku langsung ngebel Pak Mukhlis dan ngomong ke Pak Mukhlis bahwa aku diperintahkan pak Bukhari untuk menggantikan Pak Miftah. Aku ga bisa menanggung ini sendiri--itu yang ku tahu--dan tak terpikir sama sekali olehku bahwa apa yang tak lakukan karena aku gembira. I just do what i want to do. Setelah itu aku menangis--benar-benar menangis--tanpa pernah tahu apakah aku menangis bahagia atau menangis sedih.
Ul, tiba-tiba aku ingat--Anip atau Jun aku lupa--pernah berkata kepadaku, 'Mas tahu ga bahwa mbak Ul tahu ngomong bahwa suatu saat Anam akan jadi kepala sekolah'. Saat itu aku hanya bilang 'ya toh'.
Ul, sungguh Ul hari-hari ini aku takut bahwa apa yang mungkin nanti aku lakukan tidak benar-benar tulus. Aku khawatir bahwa apa yang akan aku lakukan nanti tidak lebih dari sekedar 'balas dendam', tidak lebih dari sekedar ingin membuktikan bahwa aku lebih baik dari Miftah. Aku takut Ul karena beberapa waktu ini (mungkin sekitar 3 bulan belakangan ini) aku benar-benar jengkel dan kecewa dengan setiap kebijakan yang diambil Pak Miftah--kebijakan yang menurutku seringkali tidak memperhatikan orang lain--. Aku takut jika pada satu titik ternyata aku tidak lebih kethok-kethok kayu pilaran, poyok-poyok akhire ketularan. (Ah semoga saja itu terjadi Ul).
Lagian Ul, secara tak langsung ketika aku lagi jengkel dengan Pak Miftah, mau tidak mau aku merasa lebih baik darinya dan merasa jika aku menjadi kepala aku akan berbuat lebih baik darinya (mungkin kayake apa yang tak lakukan benar, cuma ketika tak renungkan tampaknya itu tak lebih dari sekedar rasa jengkel dan keinginan untuk menunjukkan bahwa aku lebih baik dan dia lebih buruk, sesuatu yang juga buruk kan?).
Ul, tadi siang aku ke tempat pak Mukhlis, kemudian bicara banyak hal yang intinya aku mengatakan apa yang khawatirkan terkait dengan menjaga niat dan tujuan. Pak Mukhlis menasehatiku banyak hal termasuk bahwa aku mesti menerima ini sebagai sebuah amanah, bahwa akan ada banyak teman yang akan membantu. Akhirnya aku minta tolong ke Pak Mukhlis untuk selalu mengawalku, untuk selalu mengingatkanku ketika apa yang aku lakukan mulai melenceng, mulai menyimpang dari tujuan awalnya. Dan Pak Mukhlis menyanggupinya. Aku percaya dengan ketulusan Pak Mukhlis bahkan sangat percaya.
Ul, aku juga ngasih tahu Jun tentang hal ini karena saat ini aku memang hanya bisa bercerita apa saja kepada Jun. Ga tahu lah Ul, yang jelas aku akan merasa lebih nyaman ketika sudah bercerita kepada Jun (sebagaimana kepadamu). dan I need that.
Ul, aku ga tahu apa yang akan aku hadapi nanti, yang jelas akan ada banyak hal baru dan mungkin gila yang akan terhampar di hadapanku, dan mungkin juga akan banyak suara yang akan menggulungku, aku tak tahu, benar-benar tahu tahu Ul.
Tapi yang jelas aku tahu Ul, saat ini aku benar-benar mengharap hadirmu, untuk kembali berbagi, untuk kembali menemaniku dalam setiap angin badai yang mungkin akan menghadangku, aku akan selalu membutuhkan hadirmu dalam setiap tekanan yang mungkin akan menekanku, untuk menyandarkan sebentar kepalaku di dada bidangku, untuk merasakan belaimu yang akan mengusir setiap resah gelisahku, untuk mendengarkan ide-ide segarmu dalam memberikan solusi atas tiap persoalan yang mungkin aku aku temui.
Ul, aku tahu aku benar-benar akan membutuhkanmu, membutuhkan hadirmu, membutuhkan senyummu, membutuhkan belaimu, membutuhkan hangatmu, membutuhkan ide segarmu, agar tak lagi aku merasa sendiri, agar tak merasakan dingin kegelisahan, agar tak merasakan gersang buntu tanpa jalan keluar.
Maka aku berharap dan mengharap kerelaanmu Ul untuk kembali mewujud dalam nyataku, untuk kembali membelai kesendirianku, untuk kembali menghangatkan kebekuanku, untuk kembali menyirnakan kesendirianku.
Ul, aku membutuhkanmu temanku, aku merindukan hadirmu isteriku, aku mengharapkanmu sahabatku, aku....ah....
Ul, bantu aku ya agar aku selalu berada di jalanku, bantu aku dengan mengontrol setiap tindakanku, bantu aku untuk selalu mengingatkanku, bantu aku ya...
Ul, ini dulu ya yang aku ceritakan padamu, lain kali kita akan kembali bercerita banyak tentang berbagai hal, tentang berbagai mimpi, tentang capaian-capaian yang hendak kita raih.

Ul, sudah ya...I love you as always....I miss you so much...aku selalu menunggumu di suatu tempat yang memungkinkan kita untuk selalu bersamamu, memelukmu, menciummu, memadu bersamamu....

Senin, 02 September 2013

puisi rindu untukmu

aku merindumu sepanjang waktuku
       mengalir dalam alir darahku
       berhembus bersama nafasku
       bergerak bersama langkah kakiku
       merengkuh dalam tiap gerak tanganku

aku merindumu dalam seluruh waktuku
      menuju sua yang tak pernah tahu kapan jua

aku menyebutmu dalam tiap kata yang keluar dari jiwa
        bersama detak yang mendenyut di jantungku
        dalam denyut yang mengalir di nadiku

aku menyebutmu sepanjang waktu
       dalam sadar dan tidurku

aku merindumu dalam selurung ruang waktu
        melintas batas alam, melampauinya daya nalar
        merasuk jiwa abaikan keterbatasan raga

aku merindumu sepanjang sisa nafasku
        sebagai syukur atas anugerah cinta kasihmu
        dari Ia Sang Segala Tahu

aku menyebutmu bahkan dalam ruku sujudku
        bersama Asma dan salam sang Rasul penutup waktu
        aku menyebutmu dalam untaian doa harapku
        iringi puja pada Sang Pemilik Waktu
        setelah salawat pada sang kekasih Tuhanku

aku merindumu
         menunggu suamu
         menanti turun wujudmu
dalam bentuk apapun yang diperkenankan Sang Penguasa Rindu

aku merindumu belahan jiwaku
                           separuh sukmaku
                           setengah nafasku

aku melihatmu dalam tiap percik jiwa yang kau tebar di sekitarku
                         dalam hembus semilir kirimkan wangimu
                         dalam tiap desah yang tiba-tiba menyambangiku

aku merindumu
        sepenuh
        seluruh
        seutuh

Allah, Tuhan Penggenggam Segala yang tersimpan di kalbu
           mohon perkenan-Mu
           aku sungguh mohon perkenan-Mu
                  perkenankan wujud kembali dalam nyataku
                  perkenankan rindu abadi menghias relungku
                  perkenankan aku mampu ridlo atas segala tetap-Mu (amin)

Senin, 12 Agustus 2013

Ceritaku kali ini (it's about me)

Hai Ul, semoga rahmah Allah senantiasa bertambah melimpah mengalir padamu.
Ul, kali ini aku cuma pengen cerita tentang kegilaanku pada Ramadlan dan Syawal ini. Aku ga tahu apakah yang akan ku ceritakan ini nanti akan membuatmu tertawa, kecewa, atau malah bahkan bersedih, tapi aku berharap ceritaku kali ini hanya akan membuatmu tertawa dan menertawakan kekonyolan dan kegilaanku (sesuatu yang sebelumnya juga tidak pernah aku perkirakan sama sekali, sesuatu yang sebelumnya juga tidak pernah ku sangka akan terjadi padaku...).
Ul, mungkin Ramadlan dan puasanya kali ini merupakan salah satu Ramadlan dan puasa terburuk bagiku (kalau aku menggunakan sudut pandang religiusitas dan psikologis penghambaan) dan Syawal serta idul fitrinya pun tampaknya juga merupakan salah satu yang buruk kali ini.
Ah..Ul, aku kadang tertawa sendiri, mentertawakan kegilaan dan kekonyolanku kali ini tapi sekaligus kadang aku menangis tersedu, menyadari betapa kacau dan gila apa yang aku lakukan kali ini.
Ok, kita mulai aja cerita kali ini...
Ul, tidak ada yang istimewa ku rasakan menjelang puasa tahun ini, semua tiba-tiba menjadi hambar, tiba-tiba semua menjadi seperti di ruang hampa, tanpa hasrat tanpa makna. Sepi, sunyi, sendiri. Aku merindumu Ul, benar-benar merindumu, sebagaimana biasanya, tapi kali ini hasrat untuk kembali menghadirkan jauh melebihi tahun-tahun lalu, ah...mungkin benar kata orang Ul, bahwa satu-satunya hal yang tidak akan pernah bisa akrabi dan kita biasakan meskipun telah lama kita bersamanya adalah kesendirian--sendiri--.
Ul, sudah tiga setengah tahun kita tidak berada dalam dimensi yang sama, sudah tiga setengah tahun aku mencoba untuk menjadi biasa tanpamu, sendiri melakukan segala sesuatu, sudah tiga setengah tahun aku berulang kali mencari dan menggunakan banyak hal yang berhubungan denganmu untuk kembali merasakan hadirmu, sudah tiga setengah tahun dan tetap saja aku tak pernah mampu merasa wajar dan biasa dalam kesendirianku tanpamu, sudah tiga setengah tahun tetap saja tak pernah cukup kurasakan kebersamaan denganmu dalam kesatuan jiwa, sudah tiga setengah dan aku semakin merasa asing dengan kesendirianku tanpamu. Dan tahun ini Ul, aku semakin berharap engkau kembali hadir dalam nyataku--tentunya dalam wujud lain yang padanya ku rasakan hadirmu--.
Ul, aku tidak hendak mengatakan bahwa ramadlan kali ini tidak ada satupun hal menyenangkan yang terjadi, ada dan mungkin banyak banyak, tapi secara umum ramadlan kali ini aku benar-benar kacau, tak ada semangat berpuasa, sahur, maupun berbuka, tak ada keinginan besar untuk tadarus (kau tahu Ul, kali ini bahwa satu juz pun aku tak selesai--kayake aku cuma bisa bertadarus 2 surat yang tidak terlalu panjang di juz 18 kalo ga salah), tarawih juga tak sempurna ku jalankan. Ah, entahlah Ul...
Dan ini yang menurutku paling 'gila' Ul--sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, sesuatu yang sebelumnya aku pikir akan mampu akan lewati pelan-pelan tanpa harus mengalami hal-hal yang cenderung 'gila' dan konyol--aku benar-benar tak mampu mengendalikan hasrat kelelakianku, aku benar-benar tak mampu untuk menahan diri dari keinginan untuk memenuhi hasrat akan seks. Aku bertemu dengan batasku untuk menahan diri dari sebuah kebutuhan biologis seorang laki-laki. 
Ul, kita pernah mendengar cerita tentang khalifah Umar yang melakukan inspeksi malam kemudian mendengar rintihan perempuan yang merindu 'kehangatan' suaminya yang sedang bertugas untuk berperang, kemudian ia bertanya kepada puterinya, Khafsah--isteri Nabi--tentang batas umum seorang perempuan yang telah bersuami untuk menahan gairah seksualnya, dan Khafsah menjawab empat bulan, maka kali ini aku menemukan kenyataan bahwa ternyata aku benar-benar tak lagi kuasa untuk menahan hasrat ini ketika mencapai tiga tahun setengah.
Sebenarnya sudah sejak dulu aku sadar bahwa aku belum mampu--atau mungkin tidak pernah benar-benar akan mampu--menghilangkan hasrat seksualitas yang ada dalam diriku. Aku sadar bahwa aku masihlah seorang laki-laki dengan usia yang masih cukup panas untuk menggelorakan keinginan dan memiliki kebutuhan atas hasrat seksual, namun selama ini aku berhasil mengatasinya dengan berbagai cara--meskipun aku tahu beberapa cara yang aku lakukan mungkin tidak akan bisa diterima oleh beberapa orang--mulai dari wudlu, shalat 2 rakaat, membaca qur'an, membaca, melihat, atau bahkan menonton video-video porno maupun hal-hal lain yang bisa aku lakukan untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang tak pikir akan menyeretku pelan-pelan menuju tindakan-tindakan seksualitas yang menyimpang.
Ul, entahlah aku sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi Ramadlan kali ini aku benar-benar tidak mampu menahan diri untuk 'memuaskan' hasrat itu, dan aku pun tak kuasa untuk menahan diriku dari melakukan hal-hal yang selama ini ku anggap sebagai bagian dari perilaku seksual yang 'menyimpan'--meskipun aku juga tahu beberapa orang mengatakan bahwa hal ini tidak termasuk penyimpangan seksual--. Aku melakukan masturbasi Ul dan parahnya bukan sekali namun lebih dari tiga kali (please jangan tertawakan ketak mampuanku Ul...)
Ah Ul, aku benar-benar kembali merindumu kali ini, merindu hadirnya dalam wujud nyatamu, merindu kebersamaan denganmu untuk memadu rindu, bergumul dalam gairah yang terus memburu.
Ul, mungkin salah satu hal terbaik yang terjadi pada Ramadlan kali ini adalah bahwa hubunganku dengan Jun sudah kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya, tampaknya segala bias yang ada perlahan-lahan bisa kami kendalikan (aku percaya bahwa kerenggangan atau keakraban hubungan di antara dua orang ditentukan oleh dua perasaan yang saling mempengaruhi dari dua orang itu--tidak peduli siapa yang memulai kerenggangan ataupun keakraban, yang jelas jika salah satu di antara dua orang tersebut berubah sudut pandangnya maka secara otomatis akan terjadi juga perubahan dalam pola hubungan di antara keduanya). Aku sangat bersyukur dengan hal itu Ul, sungguh aku sangat mensyukurinya...
Tapi Ul, aku juga kaget setengah mati ketika aku menemukan fakta baru bahwa aku melihat sangat banyak--bahkan mungkin terlalu banyak menurutku--percikan dirimu dalam diri Jun, aku merasakan sesuatu yang hilang saat perpindahanmu ke dimensi lain hadir kembali dalam dirinya. 
Ul, tidak dapat ku pungkiri bahwa aku senang dengan kenyataan itu, aku senang karena aku kembali merasakan hadirmu dalam wujud nyata, tapi jujur aku juga harus mengatakan bahwa aku senang sekaligus juga mengalami ketakutan. Aku takut--jika semakin banyak percikan dirimu ku lihat pada diri Jun--aku tidak mampu mengendalikan diriku lagi, aku bisa benar-benar menganggap Jun sebagai dirimu dan jika itu terjadi bisa saja aku akan melakukan hal-hal yang akan menghancurkan hubungan baik yang ada di antara kami, bisa saja aku tiba-tiba memeluknya atau bahkan menciumnya ketika tak lagi mampu ku tahan seluruh hasratku akan dirimu.
Ul, terbersit keinginan untuk mengatakan semua pada Jun agar ia mulai berhati-hati denganku karena hal ini, tapi aku lebih khawatir lagi jika aku mengatakan padanya apa yang ku rasakan saat ini, maka hubungan kami yang mulai berjalan seperti dulu akhirnya kembali renggang dan penuh kecanggungan--atau bahkan bisa saja malah Jun menjadi benar-benar marah dan tak lagi mau bertegur sapa denganku--(sesuatu yang tidak pernah bisa aku terima jika aku menjadi sebab rusaknya hubunganku dengan seseorang yang sangat engkau banggakan dan sayangi). Tapi jika suatu saat aku benar-benar tak lagi mampu menahannya maka mau tidak mau aku juga akan mengatakan padanya, dan aku berharap saat itu Jun dalam keadaan baik secara psikologis sehingga ia mampu memandang hal ini sebagai sesuatu yang terpisah dari hubungan kami sebagai kakak dan adik (ipar). (Aku berharap suatu saat aku akan menceritakan seluruh fakta ini kepadanya dalam keadaan yang benar-benar netral dan tidak akan mempengaruhi hubungan baik yang ada di antara kami--atau bahkan kalau boleh aku berharap--malah akan mempererat hubungan kami).
Ul, aku hanya berharap bahwa apapun yang terjadi hari ini ataupun apa yang akan terjadi di masa depan tidak akan merubah apapun yang ada di antara kami, di antara aku dan Jun, di antara aku dan Anip, di antara aku dan Aam, di antara aku dan bue, di antara aku dan mbak Rima, di antara aku dan Mas Fuad, di antara aku dan Mas Ib, di antara aku dan orang-orang yang mengenal dan menyayangimu. (atau bahkan membuat kami menjadi semakin dekat dan akrab).
O ya Ul, ada sedikit cerita di lebaran kali ini. Cerita yang dibuat oleh angkatan terakhir yang pernah engkau ajar, anak-anak MI era Susilo, Milachun, Mia, Nia, dan kawan-kawannya. Ul, angkatan ini ku anggap sebagai salah satu angkatan terbaik MI dalam hal menjalin silaturrahmi dengan guru-gurunya. Setiap lebaran anak-anak ini masih mau berkumpul kemudian mengunjungi guru-gurunya, termasuk ke rumah kita. Dan tahun ini mereka mengungkapkan sesuatu yang benar-benar membuatku terharu, membuatku benar-benar menahan air mata agar tidak tertumpah, membuatku ingin 'memukul' mereka karena mereka hampir saja membuatku menangis di hadapannya, membuatku benar-benar kehilangan kata-kata.
Kau tahu Ul apa yang dikatakan Susilo untuk mewakili kawan-kawannya setelah meminta maaf kepadaku?. Ia berkata: "kalah titip kagem bu Ul nggih pak". "Titip apa?", kataku. "Titip mintakan maaf kami kepada bu Ulya". Sungguh Ul, hampir saja aku menangis kalau saja tak ku ingat bahwa anak-anak itu masih berada di rumah kita, masih ada di depanku. Memang benar Ul, bahwa setiap hari aku sendiri selalu menyebutmu, bukan sekali atau dua kali bahkan mungkin ratusan kali, namun sampai sekarang setiap kali ada orang yang menyebut namamu aku tak bisa menghindarkan diri dari rasa haru dan akibatnya seringkali aku menangis sendiri (makanya Ul aku tidak terlalu suka jika ada orang menyebut namamu di hadapanku karena aku tidak terbiasa dan tidak suka menangis di hadapan orang lain, aku terbiasa dan lebih suka menangis sendiri atau bersamamu di malam-malamku).
Ul, itu dulu ya cerita kali ini, tolong jangan tertawakan aku atas kegilaan, kekonyolan dan ketidakmampuanku kali ini, tapi jika engkau ingin tertawa, ya tertawalah, tersenyumlah karena aku tidak akan pernah bosan untuk melihat dan mendengar senyum ataupun tawamu...
I love you so much as always...
Semoga rindu kembali mempertemukan kita di salah satu malam dingin di musim kemarau ini agar kerontang jiwaku segera tersirnakan dengan siraman kesejukan dalam hadirmu.
Aku merindumu dan selalu menantimu di ujung malam sebelum pagi mengganti hari.

Kamis, 08 Agustus 2013

Selamat Idul Fitri Ul...

Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar
La ilaha illa Allah Allahu akbar
Allahu akbar wa lillahi al-hamd

Gema takbir berkumandang dari segala penjuru di sepanjang malam ini, gema takbir yang menandakan bahwa hari ini adalah 1 Syawwal, Idul Fitri bagi siapapun yang merasa dirinya muslim.
Ul, selamat Idul Fitri ya, terima kasih atas segala yang engkau lakukan selama ini. Terima kasih telah menjadi bagian dari jiwaku selama ini. Terima kasih atas kerelaanmu untuk selalu hidup dalam hatiku. Terima kasih untuk keabadian cintamu yang selalu memegahkan jiwaku. Terima kasih untuk setip percikan cinta dan kasih yang mengalir terus menerus dalam nadiku. Terima kasih atas hadirmu untuk menyambangiku dan membiarkanku kembali memelukmu bulan ini. Terima kasih atas kerelaanmu untuk selalu hadir dalam segala wujud yang aku rasakan (kau tahu Ul, aku merasa semakin banyak percikan dirimu dalam diri Jun dan mulai kurasakan bahwa apa yang hilang bersama perpindahan dimensimu kutemukan kembali saat kehadirannya. Maafkan aku jika itu hanya perasaanku saja dan jika semua itu benar-benar wujud lain dari kehadiranmu, maka thanks you, terima kasih atas cinta dan kasihmu).
Ul, malam ini aku ingin engkau menjadi orang pertama yang bercengkerama denganku di hari Fitri ini, aku ingin di awal Syawwal ini engkau orang pertama yang ku ajak berbincang dan saling berucap Selamat Idul Fitri. 
Ul, maafkan aku atas segala kurang dan ketakmampuanku untuk memberi jawaban yang sesuai atas segala yang kau lakukan selama ini. Maafkan aku karena aku belum mampu menemukan format dan cara yang tepat agar dapat memberikan bimbingan dan menunjukkan kepada Lana segala kehebatan dan pentingnya rasa ingin tahu dan pengetahuan. Maafkan aku atas segala kegilaanku selama ini. Maafkan aku karena bulan ini aku benar-benar tak mampu mengendalikan hasrat dan gairah kelelakianku sehingga aku melakukan sesuatu yang selama ini tidak aku terima sebagai penyelasaikan atas masalah ini. Maafkan aku Ul atas setiap jengkal langkahku yang belum mampu memenuhi setiap titik tujuan yang pernah kita rencanakan. Maafkan aku....
Ul, aku merindumu, benar-benar merindumu dan selalu saja begitu. Terima kasih atas setiap wujud dan bentuk jawaban yang engkau berikan padaku melalui detak, melalui denyut, melalui mimpi, melalui pertemuan dua jiwa di alam yang kadang tak pernah aku sangka, melalui kelebatan-kelebatan yang memercik dari sudut mata Lana, melalui segala hal yang kurasakan hadirmu di sana.
Ul, malam ini aku ingin kembali memadu bersamamu, di malam pertama Syawwal yang terberkati. Aku tahu Ul, mungkin aku bukan termasuk salah satu pemilik 1 Syawwal tahun ini, karena Ramadlanku benar-benar gila tahun ini. Tak ada tadarrus, tak sempurna tarawih, tak mampu mengendalikan hasrat dan gairah kelelakianku di malam-malam yang semestinya berurai air mata untuk mengakui segala salah dan dosa. Tapi malam ini aku ingin kembali bercengkrama denganmu, bercerita tentang cinta kita, membincang kembali segala asa dan harapan yang hendak kita bangun di atas bahtera yang telah kita layarkan di samudera kehidupan, merenda kembali segala indah pertemuan dua jiwa yang disatukan dalam rindu dan cinta.
Ul, malam ini aku benar-benar ingin kembali memelukmu penuh rindu, mengecup keningmu untuk mengalirkan segala cinta. Malam ini aku ingin hanya bersamamu, dalam tunduk dan linangan air mata, di atas hamparan sajadah di sebelah peraduan kita.
Ul, aku merindumu, benar-benar merindumu dan  selalu seperti itu...
Selamat Idul Fitri kekasihku, mohonkan untukku agar Ia memperkenankan segala yang kita harapkan mewujud satu persatu di tahun-tahun depanku.
Selamat Idul Fitri puisiku, mohonkan untukku kepada Ia sang Maha Cinta agar keabadian mengalir dalam cinta yang menyatukan jiwa kita.
Selamat Idul Fitri isteriku, mohonkan perkenan-Nya untukku agar aku mampu menjadi segalanya demi keutuhan dan kepaduan kita.
Selamat Idul Fitri ibu dari anakku, mohonkan perkenan-Nya agar Ia menunjukkan dan memperkenankan Lana menikmati segala kehebatan dan kemanfaatan dalam hidup dan kehidupan buah mata kita.
Selamat Idul Fitri Syarifa Ulya, keindahan yang terukir megah di sudut-sudut jiwaku.
Selamat Idul Fitri....Sungguh aku selalu merindu sua kita entah di alam mana.
Selamat Idul Fitri...semoga do'a harapan kita terbang ke langit bersama takbir yang menggema di sepanjang malam ini.
Selamat  Idul Fitri....
Selamat  Idul Fitri

Minggu, 07 Juli 2013

Ketika Tak Lagi Mampu Ku Tahankan di Dada

Ul, entah kenapa aku merasa bahwa hari-hari ini aku begitu merindumu, entah mengapa hari-hari ini semakin aku tertekan dengan setiap masalah yang datang rinduku padamu semakin tak tertahankan. Aku benar-benar merasa sendiri saat ini, tak ada tempat untuk sekedar bercerita apalagi mengeluh. Benar bahwa sebaik tempat untuk mengeluh adalah kepada Allah, namun sayang berkali-kali aku mencobanya aku belum juga mampu.
Ul, hingga saat ini aku tetap saja merasa bahwa hanya denganmu aku bisa menumpahkan segala yang ada di diriku, menceritakan segala persoalan yang aku alami, mengurai segala beban yang menghampiriku. Dan dengan itu, aku yakin bahwa sebenarnya aku mengeluh pada Allah, jalanku untuk mengeluh adalah melalui dirimu, karena aku yakin bahwa Allah telah menetapkan engkau sebagai belahan jiwaku.
Ul, baru kali ini aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi segala rindu padamu, tekanannya begitu keras dan aku belum juga menemukan cara untuk mengalirkannya. Aku rindu padamu Ul, semakin malam semakin sunyi semakin keras denyut rinduku, semakin menekan dada dan hatiku, semakin mendesah nafasku mengucap namamu.
Ul, dulu—sebelum aku menceritakan hal-hal yang tak pernah terungakapkan kepada orang lain dan menceritakan pengandaianku kepada Jun—aku biasa bercerita apa saja dengan Jun, menceritakan peristiwa dan kejadian yang sedang aku alami, berbicara tentang berbagai keinginan kita yang belum terwujud, dan ia pun sering bercerita tentang keinginan dan harapan yang dibangunnya, bercerita berbagai hal menarik yang terjadi, berbagai pengalaman dan rencana-rencana. Itu dulu, sebelum segalanya menjadi sedikit kaku, sebelum bias meragukan setiap tindakanku.
Ul, perlahan namun pasti—meskipun itu tidak juga aku sadari hingga ketika Jun mulai mengubah pola komunikasi kami—aku merasakan kenyamanan dan kebebasan yang dulu ku rasakan. Kenyamanan dan kebebasan untuk saling bertukar cerita, saling percaya, saling menguatkan (awalnya aku menganggap ini bagian dari perasaan kami yang menjadi merasakan rasa kehilangan yang sama—kehilangan dirimu--), namun tanpa aku sadari ternyata tumbuh harapanku agar jiwaku kembali menyatu dengan jiwanya. Dan perlahan-lahan aku pun merasakan bahwa banyak hal dari dirimu yang kurasakan dan ku temukan dalam dirinya. Aku mulai meyakini bahwa dalam diri Jun engkau kembali hadir dan mewujud untuk kembali padaku.
Ul, sungguh aku sangat ingin menghilangkannya, tapi bagaimana aku dapat menghilangkannya ketika aku juga tidak pernah memunculkannya, semua berjalan begitu saja, sebagaimana cinta kita juga tumbuh begitu saja.
Ul, aku sadar bahwa saat ini aku benar-benar bias dalam hubunganku dengan Jun. Aku tahu aku menyayanginya sebagai adik iparku, namun tak dapat juga ku pungkiri bahwa aku juga merasakan kehadiranmu dalam dirinya, aku juga merasakan kedamaian saat berbincang biasa dengannya. Dan segalanya menjadi begitu menekan dada saat tak lagi mampu menjalin komunikasi dengannya. Rinduku padamu menjadi begitu menggila.
Ul, aku yakin bahwa dalam hubungan antara dua orang terjadi sebuah hubungan timbal balik. Artinya, ketika landasan komunikasi seseorang berubah maka secara otomatis berubah pula landasan orang kedua. Ketika aku merasakan bias dalam hubunganku dengan Jun, jelas ia pun akan merasakan efek dari ke-bias-anku, ia pun akan menggunakan pola hubungan baru yang—bagi kami mungkin—serasa kaku, tak sebiasa dulu.
Sungguh Ul, saat ini aku menjadi ketakutan sendiri. Takut bahwa apa yang aku lakukan akan membuat Jun semakin menjauhiku, semakin tak mau menjalin komunikasi denganku. Aku khawatir hubungan baik dan akrab yang dulu kami miliki menjadi semakin renggang dan kaku. Aku tidak mau hubungan persaudaraan di antara kami rusak dan berantakan. Dan semakin takut aku semakin biasnya pola hubungan kami.
Ul, sungguh kadang aku berpikir untuk mengatakan padanya bahwa aku merasakan hadirmu dalam dirinya (karena Jun tidak akan percaya kalau aku katakan aku mencintainya—atau bahkan sekedar suka antara laki-laki dan perempuan—karena aku sudah pernah bercerita padanya bahwa aku sangat mencintaimu dan jika aku mesti menikah lag maka aku akan menikah dengan perempuan yang dalam dirinya aku rasakan kehadiranmu. Meski kadang aku juga bertanya sendiri benarkah engkau benar-benar mewujud menyatu jiwa dengan Jun sehingga aku merasakan hadirmu dalam dirinya atau aku mulai menyukainya kemudian aku mengganggapnya sebagai kehadiran dirimu dalam dirinya? Ah entahlah…) dan kemudian mengajaknya untuk menikah denganku.
Ul, dalam prediksiku setidaknya mungkin akan terjadi salah satu dari tiga hal berikut:
Pertama, Jun mau menikah denganku tentunya dengan syarat-syarat yang mungkin akan diberikannya padaku (dulu ketika bercerita tentang kemungkinan itu, ia juga berkata ya bisa saja aku akan mengatakan ya namun tentunya tidak dengan begitu saja, aku akan memberikan syarat-syarat yang mungkin akan membuat sampeyan mundur teratur).
Kedua, Jun akan menolaknya entah karena aku tidak mau memenuhi syarat yang diajukannya atau karena hal lainnya namun kemudian hubungan kami menjadi seperti semula, sebuah hubungan akrab antara kakak dan adiknya.
Ketiga, Jun akan menolaknya dengan cara tidak memberikan jawaban dan memutuskan semua hal yang terkait denganku, tidak lagi mau berhubungan denganku, tidak lagi mau berbicara denganku, tidak lagi mau berbagi cerita denganku.
Ul, sungguh aku bisa terima dan tidak akan apa-apa jika yang terjadi adalah opsi pertama dan kedua, meskipun mungkin opsi pertama juga tidak akan berjalan semulus paha cherrybell (aku merasa jika memang aku akan menikah dengan Jun mungkin akan ada beberapa hal yang mesti diselesaikan sebelum dilaksanakan, beberapa hal yang aku yakin engkau pasti mengetahui dan sangat memahaminya, beberapa hal yang mungkin juga berakhir tidak sebagaimana mestinya). Aku jelas bisa menerima opsi pertama karena sejak aku meyakini bahwa engkau kini ada dalam dirinya tentu aku ingin menikah dengannya.
Untuk opsi kedua, ini merupakan opsi yang aku harapkan, Jun menolakku dan kami kembali menjadi kakak beradik yang saling mendukung, menjaga, dan akrab. Jadi opsi pertama kini menjadi salah satu keinginanku dan opsi kedua merupakan harapanku… (mungkin karena aku sangat tidak ingin hubungan baik yang selama ini terjadi di antara orang-orang tua menjadi sedikit meregang akibat opsi pertama).
Ul, untuk opsi ketiga terus terang hingga kini aku bahkan tidak sanggup untuk membayangkannya. Bagaimana mungkin aku menjadi orang yang dibenci dan dijauhi oleh orang yang sangat dekat denganmu. Bagaimana mungkin aku sanggup menjadi orang yang dihindari oleh adik yang sangat engkau sayangi. Bagaimana mungkin aku bisa menanggung sakit yang pastinya engkau rasakan ketika ternyata aku sendiri yang menyebabkan adik yang paling engkau banggakan sakit hati akibat tindakanku.
Benar-benar tidak mampu aku membayangkan hal itu Ul, apalagi memikirkannya.
Ul, hingga saat ini—menurutku--itulah alasan paling mendasar mengapa aku tak juga melakukan langkah-langkah untuk menyelesaikan biaskua. Karena dalam pandanganku salah satu cara paling paling untu menyelesaikan biasku adalah dengan menggembalikan posisi dan pola hubungan kami menjadi pola hubungan yang dulu—pola hubungan kakak adik—atau membuat pola hubungan baru yang akan semakin mendekatkan kami.
Ul, selama aku masih merasa mampu untuk menahannya—meskipun akhir-akhir ini aku mulai merasa sangat berat dan sering merasa tak lag mampu untu menahannya lebih lama—aku tidak akan mengatakan ini kepada Jun, sungguh aku malah berharap tidak perlu mengatakannya pada Jun. Aku berharap ia menikah sebelum aku mengatakannya, sebelum aku benar-benar tidak mampu menahannya di dada.
Sungguh Ul aku merasa kekakuan hubungan di antara kami penyebab utamanya adalah ini, bias yang muncul setelah aku bercerita banyak hal terkait rahasia yang selama ini tersimpan (termasuk tentang cinta dan pernikahan). Aku yakin ketika Jun sudah menikah maka perlahan-lahan—kalau tidak segera setelah itu—hubungan kami akan kembali normal sebagaimana sebelumnya. Sungguh kayaknya akan benar-benar tidak akan pernah bisa siap untu menghadapi kemungkinkan ketiga, kemungkinkan untuk dijauhi dan dibenci oleh orang yang sangat dekat denganmu, adik yang sangat engkau sayangi dan banggakan.
Ul, kalau tak pikir-pikir mungkin salah satu yang paling tak butuhkan adalah teman bicara, teman yang dengannya aku bisa ngomong apa saja, teman yang aku tak canggung untuk menceritakan seluruh rahasiaku kepadanya. Dan aku masih saja tetap seperti dulu Ul, aku tidak bisa bercerita kepada semua orang, aku hanya bisa bicara pada satu orang saja, cukup satu orang saja. Satu orang yang bahkan aku rela jika ia menceritakan semua yang tak ceritakan kepadanya ke siapa saja. Satu orang yang menjadi bagian dari jiwa dan hatiku. Dan satu orang itu awakmu Ul.
Kemudian setelah perpindahanmu aku merasakan hal serupa pada Jun sehingga akhirnya ia menjadi the one, menjadi orang—setelahmu—yang aku tidak pernah merasa canggung untuk bercerita, untuk mengungkap apa yang selalu tersembunyi dari orang-orang di sekitarku. Satu orang yang dengannya aku bisa berbagi cerita tanpa merasa malu dan ragu. Aku tidak pernah memilihnya Ul, semua berjalan begitu saja.
Terlebih lagi jika terkait dengan bagaimana mendidik dan membimbing Lana, aku benar-benar butuh  teman—dan seringkali ku rasakan bukan sekedar teman bicara--.
Ul, dulu aku berpikir bahwa seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit aku akan mampu memahami dan membimbing Lana, namun kenyataannya berbeda Ul. Semakin lama aku semakin merasa kewalahan terkait dengan bagaimana mendidik dan membimbing Lana. Semakin hari semakin banyak hal-hal mengejutkan yang dilakukan Lana. Hal-hal yang seringkali membuatku merasa tidak memiliki kemampuan apa-apa, hal-hal yang membuatkan semakin meragukan kemampuanku sendiri untuk mendidik dan membimbing Lana. Hal-hal yang membuatkan bergerak menuju yakin bahwa aku tidak akan mampu mendidik dan membimbing Lana seorang diri. Aku membutuhkan teman untuk menyempurnakan pendidikan dan bimbingan kepada Lana. Aku membutuhkan figurmu (figur ibu) bagi Lana karena aku tidak akan pernah sekalipun mampu menggantikan figurmu bagi Lana.
Ya jelas aku sering juga berpikir bahwa tidak fair untuk menempatkan Jun dalam posisi ini. Tidak fair untuk membebaninya menjadi ‘tempat sampah’ bagi seluruh ceritaku. Apalagi aku sadar bahwa yang punya masalah bukan aku saja, aku sadar Jun pun punya masalah yang mesti dipecahkannya, maka semakin biaslah pola hubungan di antara kami berdua.
Ah, entahlah Ul, yang jelas saat ini aku membutuhkan teman untuk berbagi cerita, berbagi angan dan cita. Sebuah kualitas yang hanya engkau miliki, kemudian aku rasakan juga dalam diri Jun.
Ul, I think I just need a friend—truly friend, truly you—to talk, maka mungkin karena itulah hari-hari ini aku begitu merindumu, bergetar suara dan seluruh tubuhku saat menyebut namamu, dan namamu kembali menyertai tiap penyebutan asma Tuhanku bahkan seringkali lebih banyak dari itu.
Dan semua ceritaku kali inipun adalah jalan bagiku untuk sedikit mengalirkan beban kerinduan yang semakin menekan dadaku,
Ah Ul, mungkin saja jika Jun atau Anip membaca cerita-cerita ini mereka akan kecewa atau bahkan marah kepadaku, tapi aku yakin bahwa seiring perjalanan waktu dan pengalaman hidup serta dengan kejernihan pikir, kecerdasan, dan kedewasaannya, suatu saat mereka akan memahami mengapa aku menjadi segila ini. Meskipun tidak pernah sama dengan memaklumi.

Ul, aku merindumu teman, aku merindumu kekasih, aku merindumu jiwa, aku merindumu isteriku… dan kali ini aku benar-benar merindu mewujudmu…(Semoga Ia memperkenankannya. Amin).
Ul, love you so much as always… see you, emmm..ah… (peluk cium untukmu, selalu)