Senin, 22 Februari 2010

Entah sampai kapan...

Telah ku coba untuk membaca semua yang dapat ku baca. Ku baca semua bacaan tentang hidup. Ku baca semua pengalaman kesedihan dari sekitar. Ku baca jalan kehidupan orang-orang yang ku anggap hebat. Ku baca arah perjalanan hidup.
Semua mengajarkan bahwa kehilangan besar akan memunculkan suatu hikmah luar biasa. Semua mengajarkan bahwa syukur sejati adalah sebuah kerelaan untuk bersyukur dan berterima kasih atas kehilangan terbesar kita.
Bersyukur karena kita diberi kesempatan untuk merasakan anugerah terbesar itu. Berterima kasih karena kita sudah dipinjami sesuatu yang sangat berharga itu. Bersyukur karena kita diberi amanat untuk menjaga sementara waktu keluarbiasaan bagi jiwa kita. Berterima kasih karena Ia mengkaruniai kita sesuatu yang luar biasa.
Tapi kehilangan tetaplah kehilangan isteriku. Aku masih manusia biasa yang lemah, mungkin lebih lemah dari siapapun yang dipandang lemah orang lain. Aku masihlah seorang bodoh yang masih harus belajar banyak tentang kehidupan. Belajar banyak tentang makna tersembunyi dari sebuah perjalanan hidup.
Tak ku pungkiri ul, betapa aku masih sangat membutuhkanmu. Kebutuhanku akan dirimu jauh melebihi apa yang pernah aku pikirkan dalam ketinggian nilai dirimu bagimu.
Terlalu sering ku rasakan ketidak berdayaan, meski aku yakin akan kuasa Sang Maha Segala. Terlalu sering ku rasakan ketak bergunaan, meski tak kurang yakinku akan takdir Sang Maha Segala.
Entahlah Ul, entah sampai kapan aku belum bisa menerima ketiadaanmu. Entah sampai kapan aku belum bisa menerima bahwa engkau telah kembali. Entah sampai kapan aku belum bisa menerima dengan lapang dada ketiadaan lahirimu di sampingku.
Kadang aku merasa tiada lagi asa. Tiada lagi harap. Tiada lagi impian. Telah sirna semua asa bersama dengan dirimu. Telah punah segala harap bersama dengan pergimu. Telah mati tiap impian bersama dengan bersemayammu.
Kadang begitu besar ku inginkan kematian. Kematian yang ku harap menjadi pertemuan bagi kita. Kadang ku rasa dunia tak lagi mau menyapa dan bersahabat dengan segala asa, meski ku yakin rahmah Sang Segala Maha masih bertebaran di mana-mana.
Entahlah Ul, entah sampai kapan aku baru bisa menerima segala dengan lapang dada. Aku sangat merindumu. Setiap malam ku berharap pertemuan denganmu. Aku tak tahu harus bagaimana, apa yang mesti ku lakukan agar setiap malamku engkau temani, engkau sambangi.
Seluruh kata kita tercekap di kerongkongan. Tak bisa lagi aku bicara pada siapapun. semua kita kini tinggal mengendap di dada, hingga kadang secara sangat sesak di dada.
Keluhku kini hanya pada Sang Maha, meski kadang ku rasa aku tak layak melakukannya. Masih terlalu kotor ku tuk berharap kabulnya. Masih terlalu naif ku tuk mengharap aminnya. Meski kadang hampir tak kuasa ku tahan semua kata di dada. Hampir tak sanggup ku tahan semua rasa di dada. Rindu harus diobati. Cinta harus dijawabi. Pertemuan menjadi niscaya.

Ya Allah, dalam ketak patutanku ku lantunkan do'aku
mohon kabulkan harapku
perkenankan pertemuanku dengan isteriku
beri jalan bagi hidupku
terangi dan lapangkanlah dadaku
kuatkan diriku
teguhkan imanku
abadikan cintaku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar