Senin, 11 Agustus 2014

Cerita, Lana dan Jun

Ul, semoga kesejahteraan dan kedamaian senantiasa tercurah untukmu, semoga senyum senantiasa menghias wajahmu, semoga Ia sang Maha Segala senantiasa menganugerahkan kebahagiaan dalam masa penantianmu.


Ul, mungkin hari-hari ini Lana kembali benar-benar merindumu dan mungkin saja beberapa hari ini ia mendapat ‘pelampiasan rindunya padamu’ dengan kehadiran Jun. Tahu ga Ul, beberapa hari ini Lana tampak sangat dekat dengan Jun—padahal biasanya tidak seperti itu, apalagi kalau ada Anip--.


Tadi malam, gara-gara Jun ingin memotong kuku Lana, tiba-tiba Lana diam, ngambek—biasa lah memang Lana agak susah kalau akan dipotong kukunya--. Awalnya memang tak anggap biasa, tapi kemudian Lana diam, ga ngrespon ketika diajak bicara, Cuma cemberut dan wajahnya mulai kelihatan pengen nangis. Akhirnya tak ajak pulang, dan sampai rumah pun ia masih seperti itu, meskipun sudah mulai mau bicara, itu pun bicara tentang hal-hal yang tidak terkait dengan kejadian di omah lor. 


Sekitar setengah jam kemudian, tiba-tiba Lana nangis tanpa sebab, dan seperti biasa Lana ga ngejawab apapun ketika tak tanya, ia cuma nangis dan memelukku (beberapa kali memang Lana seperti itu, menangis tiba-tiba tanpa aku tahu sebabnya). Setelah diam, Lana bilang ia ga bisa tidur, ga ngantuk, padahal siangnya ga tidur dan saat itu sudah lebih dari pukul sembilan (biasanya kalau siang ga tidur, jam 8 Lana sudah mulai ngantuk).


Ul, aku jadi berpikir bahwa mungkin Lana merasa lagi benar-benar merindumu dan apa yang dilakukan beberapa hari ini dengan Jun sedikit banyak merupakan bentuk pelampiasan dari rindunya, ia ingin bermanja-manja (sesuatu yang tidak ia dapatkan setelah engkau melintas alam), dan tiba-tiba tadi malam saat Lana juga bermanja-manja dengan Jun, tiba-tiba Jun ingin melakukan sesuatu yang tidak ia sukai sehingga membuat Lana menjadi kehilangan mood nya, lalu ngambek, ga mau ngomong, ga mau mendengar (mungkin Lana juga memprotes).


Ul, sebenarnya aku kepingin menceritakan hal-hal yang beberapa kali dilakukan Lana pada saat-saat—mungkin—ia lagi benar-benar merindumu kepada Jun, tapi aku merasa mungkin tidak tepat lagi untuk menceritakan hal-hal itu kepadanya. Aku ga enak, karena mungkin itu akan membebani pikirannya.


Ul, beberapa hari lalu—mungkin semingguan—Jun bercerita tentang beberapa hal yang hingga saat ini masih membebani pikirannya terkait dengan kita (aku, awakmu, dan Lana). Sesuatu yang selama ini ia simpan sendiri, dan mungkin ada saat-saat ketika hal itu meledak dalam dirinya. O ya Ul, saat itu aku berkata kepada Jun bahwa aku mulai terpikir tentang pernikahan dan saat terpikir tentang hal itu maka yang muncul adalah dirinya.

Ul, Jun terdiam beberapa saat, kemudian mulai bercerita tentang hal-hal yang selama ini begitu membebani dan menekan pikirannya—terutama tentangmu, bebannya, keluhanmu, kegagalanku untuk membahagiakanmu, dan mungkin banyak hal lagi yang masih belum mampu ia ceritakan kepadaku terkait denganmu, dengan kehidupan rumah tangga kita yang engkau ceritakan kepadanya, terkait dengan Lana, terkait dengan segala keluhanku kepadanya.


Sungguh Ul, saat itu aku seperti kembali tersadar bahwa aku masih sangat banyak berhutang janji padamu, janji untuk mengejar mimpi-mimpi kita, janji untuk ikut menjadi dan membantu adik-adikmu, janji untuk menebus segala salahku atas setiap keputusan yang ku ambil—yang dulu ku anggap akan menjadi awal bagi kebahagiaan kita dan ternyata hanya membuatmu menderita--.


Ul, pengin juga aku ngomong ke Jun agar ia mau menceritakan segala hal yang mengganjal di hatinya kepadaku, siapa tahu dengan bercerita maka segala beban dan ganjalan di hati akan menjadi lebih ringan, lebih tidak membebani, tak perlu ia merasa ewuh pakewuh atas apa yang akan diceritakan, bahwa tidak mungkin bagiku untuk marah kepadanya—meskipun cerita itu terkait dengan kegagalanku untuk mensurgakan rumah kita--. Aku tahu Ul, bahwa aku mungkin yang paling bersalah atas semua yang terjadi, dan mungkin salah satu jalan yang bisa aku lakukan untuk menebusnya adalah dengan mendengarkan kembali segala kesalahanku yang kembali diceritakan Jun kepadaku, kesalahan-kesalahan yang beberapa mungkin sudah aku ketahui, dan beberapa mungkin belum aku sadari.


Ul, setelah aku bicara dengan Jun tentang itu, memang ada sedikit lega di hatiku karena satu hal menjadi lebih jelas bagiku, bahwa Jun sekarang menjadi tahu tentang ‘keinginan untuk menjadikannya isteriku’. Aku tahu Ul, ada beberapa hal yang mungkin akan membuat hal itu menjadi sekedar hayalan—dan yang paling jelas mungkin adalah bahwa Jun berusaha untuk tidak lagi tinggal dan menetap di Selo dan bahwa ia tidak pernah mau menjadi bayangan siapapun (termasuk menjadi bayanganmu—seseorang yang aku yakin sangat dikagumi dan sangat dicintainya).


Ul, sebenarnya aku sendiri juga tidak benar-benar bisa mengerti dan memahami apa yang ku rasakan. Saat kerinduanku padamu menggejolak, kurasakan juga kerinduan yang sama pada Jun, demikian juga sebaliknya, saat aku teringat dengan Jun maka sepertinya aku benar-benar kembali merasakan kerinduan yang menggelombang padamu. 


Ul, kembali aku bertanya pada diriku, benarkah pada akhirnya engkau benar-benar diperkenankan untuk kembali hadir bagiku dengan mewujud dalam diri Jun, atau aku sebenarnya mulai mencintai Jun sebagai laki-laki kepada seorang perempuan lalu mencari pembenaran dengan menganggap bahwa engkau telah mewujud dalam dirinya?


Ul, kembali ke Lana, ada cerita—entah ini menurutmu lucu atau tidak yang jelas saat hal ini terjadi aku ketawa--. Sekitar tiga atau empat hari lalu, ada undangan untuk srokalan (hajatan karena kelahiran bayi yang waktunya aga panjang sehingga selesainya sekitar jam 9 an), setelah pulang dari srokalan, sambil tiduran Lana berkata padaku; “Bapak golek ibu yuk?”, sebenarnya aku kaget darimana ide itu berasal, aku tetap diam dan Lana meneruskan; “Ngko ben nak bapak hajatan aku ono sing ngancani, ga dewean”. Aku bertanya, “Golek nang ngendi?”, Lana jawab; “ya sembarang, opo golek nang luwes?”. Aku ketawa sambil menjawal; “emang ibu kayak sabun golek nang Luwes” (mungkin pikiran anak-anak itu masih seperti itu, ia tahu bahwa di Luwes ada benda dan barang apapun yang dibutuhkan, karena itu mungkin dalam pikirannya ibu pun bisa dicari di sana, he he he). Tak pikir sudah selesai masalahnya, ternyata tanpa terduga Lana kembali bertanya; “lha bapak ndek kae golek ibu nang ngendi?”. Agak tersentak aku dengan pertanyaan itu, dan Lana mengulang pertanyaannya, tetap saja aku kelabakan dan bingung bagaimana mesti menjawabnya. Akhirnya aku berkata kepadanya; “wis wengi, ndang turu disik, sesok ga iso tangi esuk lho”.


Ul, ini cerita tanpa tendensi ya, aku juga tidak bermaksud meminta ijin kepadamu untuk menikah lagi, karena hari ini Ul, kalau pun aku mesti menikah lagi maka aku hanya bisa menikah dengan Jun, karena darinya aku mendapat kenyamanan sebagaimana yang ku rasakan kepada bersamamu. Dan saat ini kemungkinkan terwujud jauh lebih kecil daripada sebaliknya. Dan mungkin merupakan bagian dari rasa hormat dan mungkin juga rasa bersalahku padamu atau mungkin juga karena aku memang mencintai Jun sebagai seorang lak-laki kepada serang perempuan, jika pada akhirnya aku menikah dan bukan dengan Jun, maka aku ingin itu terjadi setelah Jun menikah.


Entahlah Ul, kadang memang aku juga tidak mengerti sebenarnya apa yang ku cari, yang jelas aku hanya ingin berusaha untuk menebus segala salahku padamu, aku hanya ingin engkau menjadi lebih bahagian, lebih damai dalam peristirahatanmu.


Mungkin sampai hari ini akan ada banyak amalanku yang tak akan mendapat balasan dari Allah karena alasan aku melakukannya adalah sebagai bentuk rasa hormat dan rasa cintaku padamu, bukan ikhlas karena Allah. Ah biarlah, hanya itu yang bisa aku lakukan untuk mengungkapkan segala cinta dan sayangku padamu, hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menceritakan rinduku padamu.


Ul, mungkin ini dulu cerita kali ini. I love you so much…aku sangat mencintamu dan semoga aku tetap menyadari bahwa besarnya cintaku tak lebih dari anugerah yang diberikan Allah kepadaku, sehingga semakin aku mencintaimu dan merindumu semakin aku menyadari betapa syukur kepada Allah mesti aku lakukan dengan semakin menyuburkan cintaku padamu, dengan semakin mendalamkan rinduku padamu.


Peluk cium dariku, semoga jiwa kita tak pernah terpisah hanya karena batasan alam dan waktu. Amin


Tidak ada komentar:

Posting Komentar